Dari Nabire untuk Papua: Geley Gaungkan Toleransi yang Hidup, Bukan Sekadar Wacana

Nabire — Di tengah suasana penutupan Seleksi Tilawatil Quran dan Hadis (STQH) di Gedung Islamic Center, Minggu (13/07/2025), Wakil Gubernur Papua Tengah, Deinas Geley, menyampaikan pesan yang menyejukkan tentang pentingnya toleransi yang nyata dan saling menghargai antarsesama. Bukan sekadar kata-kata, tapi tindakan yang hidup di tengah masyarakat.

Mengawali sambutannya, Geley mengenang pemandangan yang bagi banyak orang mungkin biasa saja: sebuah masjid berdiri damai di samping gereja Katolik di tanah Papua. Tapi baginya, itu adalah lambang nyata dari kerukunan yang sudah lama tumbuh, tak perlu dibuat-buat.

“Saya lihat sendiri, saat umat Muslim merayakan Idul Fitri, saudara-saudara Katolik ikut mengatur parkir dan lalu lintas. Dan saat Natal tiba, umat Islam yang gantian membantu,” kisah Geley, membuat suasana hadirin terasa hangat.

Ia menekankan bahwa model harmoni seperti itu harus dibawa ke seluruh wilayah Papua Tengah—agar delapan kabupaten lain bisa merasakan dan menghidupinya juga.

Bagi Geley, toleransi bukan sekadar jargon manis. Ia mengisahkan pengalaman pribadinya: sebuah gereja dibangun dengan panitia beragama Islam, dan masjid berdiri dengan dukungan penuh dari umat Kristen. Tak ada sekat keyakinan, yang ada hanya kerja sama dan kemanusiaan.

“Kita tidak cukup hanya bicara soal saling menghormati. Kita harus melakukannya, dan tunjukkan lewat tindakan nyata,” tegasnya.

Ia pun mengajak umat Muslim di Papua Tengah untuk berkomitmen menjaga keharmonisan bersama. “Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” tantangnya penuh semangat.

Geley juga menyinggung fenomena yang kerap memancing emosi di media sosial: tindakan intoleran segelintir individu yang sering digeneralisasi sebagai cerminan agama tertentu. Ia menegaskan bahwa perbuatan individu tidak boleh menyeret nama agama.

“Itu bukan Islam. Itu bukan ajaran agama manapun. Jangan kaitkan perilaku segelintir orang dengan jutaan umat yang lain,” tegasnya, sambil mengingatkan warga Papua untuk tidak terprovokasi oleh kabar-kabar semacam itu.

Papua, Rumah Bersama

Di penghujung sambutannya, Geley menyentuh sisi spiritual toleransi. Ia mengajak semua pihak untuk mengingat bahwa sesungguhnya umat manusia berasal dari satu akar—bahkan dari satu keluarga besar leluhur yang sama.

“Kita ini sebenarnya saudara. Abraham punya dua istri, Ismail dan Ishak adalah anak-anaknya. Kenapa para pendeta dan ustaz tidak mengajarkan ini?” ujarnya, menggugah hadirin untuk merenung.

Geley kemudian menegaskan bahwa Papua bukan hanya tanah tempat tinggal, tapi juga rumah bersama yang harus dijaga. “Kita sudah lahirkan anak-anak di sini. Kita bangun rumah di sini. Kita akan meninggal di sini. Dan terakhir, kita akan masuk surga bersama-sama,” tuturnya, mengundang tepuk tangan penuh haru.

Bagi Geley, Papua Tengah bukan sekadar wilayah administratif. Ia adalah ruang hidup bersama, ruang saling mengingatkan, dan ruang untuk terus menanam benih kedamaian.

“Persaudaraan itu harus diajarkan, dan lebih penting lagi: dijalankan,” pungkasnya.