Jakarta — Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, angkat bicara menanggapi maraknya kasus intoleransi beragama yang mencuat belakangan ini. Ia menegaskan bahwa kebebasan beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara, yang tak bisa dikompromikan oleh tekanan kelompok tertentu.
“Tak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan pembubaran kegiatan ibadah. Apalagi bila diwarnai intimidasi dan persekusi,” tegasnya, Rabu (9/7/2025) di Jakarta.
Willy mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali merawat semangat persaudaraan antarumat beragama, membangun dialog, dan menghindari segala bentuk kekerasan berbasis keyakinan.
Politisi Partai NasDem itu mengingatkan bahwa Pasal 28E UUD 1945 secara eksplisit menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaannya. Karena itu, menurutnya, pembubaran ibadah secara paksa merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi dan cermin lemahnya penegakan hukum.
“Indonesia adalah negara hukum, bukan negara massa. Hukum harus berdiri di depan untuk menjamin hak-hak warga, bukan tunduk pada tekanan mayoritas,” ujar Willy.
Ia menambahkan, prinsip keadilan dalam negara hukum tak boleh diintervensi oleh dominasi kelompok mana pun. Para pendiri bangsa, kata dia, telah meletakkan dasar bahwa negara ini dibangun di atas kontrak sosial yang menjamin hak semua golongan.
Lebih jauh, Willy menilai bahwa kerukunan umat beragama hanya bisa tercapai jika setiap orang, khususnya yang berada dalam kelompok minoritas, merasa aman menjalankan ibadahnya — bahkan di lingkungan mayoritas yang berbeda keyakinan.
“Toleransi bukan sekadar kata manis dalam pidato, tapi harus hadir dalam kebijakan, dalam aturan, dan dalam perilaku aparat negara,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran forum-forum dialog seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) agar tidak menjadi alat legitimasi mayoritas, melainkan ruang diskusi yang setara dan jujur.
“FKUB jangan jadi stempel mayoritas. Ia harus membuka ruang bagi semua warga untuk menyuarakan keresahan dan aspirasi secara setara,” katanya.
Willy mendesak aparat penegak hukum untuk tidak ragu dalam menindak segala bentuk intoleransi, termasuk pembubaran ilegal, provokasi, hingga kekerasan terhadap kegiatan keagamaan.
“Hukum yang tebang pilih hanya akan memperbesar ruang intoleransi. Negara harus hadir membawa keadilan, bukan keberpihakan. Kami di DPR akan terus mengawal isu ini secara serius,” tegasnya.
Pernyataan Willy datang di tengah sorotan terhadap insiden intoleransi beragama yang terjadi di beberapa wilayah. Di Cidahu, Sukabumi, rumah yang menjadi lokasi retret umat Kristen dirusak massa. Video perusakan itu viral karena memperlihatkan massa mencopot kayu salib sambil berteriak intimidatif. Polisi telah menetapkan delapan tersangka, yang dijerat dengan Pasal 170 dan 406 KUHP.
Kasus serupa juga muncul di Depok, Jawa Barat, di mana sejumlah warga menolak pembangunan gereja di Kecamatan Cilodong. Alasan penolakan disebut karena kurangnya sosialisasi, namun peristiwa ini menambah daftar panjang tantangan toleransi di tengah masyarakat.
Willy berharap peristiwa-peristiwa seperti ini tidak terus terulang. Ia menyerukan penguatan dialog, penegakan hukum tanpa tebang pilih, dan internalisasi nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia yang majemuk.
“Kerukunan itu hadir saat semua umat saling menjaga, bukan saling membatasi. Inilah hakikat Pancasila yang harus kita hidupi, bukan sekadar dihafal,” pungkasnya.
Jika Anda membutuhkan versi artikel untuk keperluan media daerah, siaran pers, atau kampanye sosial, saya siap bantu sesuaikan lebih lanjut.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!