Jember – Di tengah gelombang globalisasi dan migrasi tenaga kerja, pekerja migran perempuan—termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)—dihadapkan pada ancaman baru yang tak kasat mata: radikalisasi dan ekstremisme digital. Fenomena ini tak hanya menempatkan mereka sebagai korban, tetapi juga menjadikan mereka bagian dari sistem jaringan kekerasan yang rumit dan manipulatif.
Menurut Dewi Srikandi dari Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) Jember, semakin banyaknya perempuan yang direkrut ke dalam jaringan radikal berkaitan erat dengan menyusutnya jumlah militan laki-laki akibat kematian, penangkapan, atau ketakutan untuk kembali beraksi. Perempuan dinilai lebih tidak mencolok, dan secara sosial dianggap memiliki citra damai, sehingga lebih mudah menyusup ke dalam masyarakat.
“Perempuan dianggap punya kekuatan naratif yang kuat, menyentuh sisi emosional targetnya. Propaganda yang dilakukan oleh perempuan justru bisa lebih mempengaruhi daripada laki-laki,” jelas Dewi dalam acara sosialisasi pencegahan ekstremisme buruh migran di Jember pekan lalu.
Romantisme Jihad dan Manipulasi Emosional
Dalam banyak kasus, perempuan migran yang direkrut merasa terhormat karena dinikahkan dengan militan, seolah mereka sedang mewarisi “darah biru jihad”. Tak jarang, pernikahan ini dilakukan tanpa wali sah atau melalui proses keagamaan yang telah dipelintir oleh ideologi kelompok.
Selain itu, mereka juga memainkan peran domestik strategis: membesarkan anak-anak sebagai penerus ideologi. Bahkan, mereka kerap menjadi penjaga kesetiaan suami terhadap ideologi jihad, hingga menolak bantuan negara. Dalam kasus ekstrem, menerima bantuan pemerintah dianggap sebagai zina dengan sistem kafir — dan bisa menjadi alasan perceraian.
Dari Sosial Media ke Suriah: Jalur Propaganda yang Tersusun Rapi
Kelompok radikal kini memanfaatkan media sosial untuk menyasar PMI. Forum diskusi, video “pengakuan”, artikel dari situs-situs ekstrem seperti ISIS dan Rumia, hingga kampanye amal bertopeng kegiatan keagamaan, menjadi alat utama mereka menyusup ke ruang digital pribadi pekerja migran.
“Mereka menciptakan yayasan fiktif, menyebar kotak amal palsu, dan menggalang dana untuk kebutuhan logistik aksi kekerasan. Jika masyarakat tidak waspada, maka kita bisa ikut mendanai jaringan teror tanpa sadar,” tegas Dewi.
Tak jarang, video-video penuh luka dan cerita pilu digunakan untuk menggugah rasa kasihan masyarakat. Padahal, narasi tersebut sengaja dibentuk untuk meraih simpati dan dana.
Perempuan sebagai Eksekutor dan Simpul Strategi
Ancaman tidak berhenti pada level dukungan. Banyak perempuan yang telah terdoktrin hingga siap menjadi pelaku utama aksi teror. Mereka disebut sebagai palu hurubah, sebutan bagi “pejuang asing” yang dianggap suci dalam ideologi kelompok ekstrem.
Sebagian perempuan bahkan berani menyembunyikan suami yang masuk dalam daftar buronan, hidup bersama mereka dalam persembunyian, dan ikut terlibat dalam penyusunan strategi kekerasan.
Tindakan Pencegahan: Waspada, Teredukasi, dan Terlindungi
Dewi menegaskan bahwa pencegahan radikalisasi terhadap pekerja migran, khususnya perempuan, membutuhkan pendekatan holistik — bukan hanya sebatas hukum, tetapi juga berbasis gender dan literasi digital. Pemberdayaan dan edukasi harus menyasar ruang-ruang privat tempat propaganda bersemayam: grup chat, forum daring, hingga narasi asmara berjubah agama.
“Kita harus ajarkan bahwa agama bukanlah alat kekerasan. Dan bahwa solidaritas sejati dibangun di atas empati, bukan manipulasi,” pungkas Dewi.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!