Pemerintah Perpanjang Akses Hak Korban Terorisme hingga 2028: Negara Hadir untuk Para Penyintas

Palu – Korban aksi terorisme masa lalu kini memiliki waktu lebih panjang untuk mengakses hak-haknya, termasuk kompensasi dan layanan pemulihan. Langkah ini dipastikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang tenggat pengajuan hingga 22 Juni 2028.

Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, korban hanya memiliki waktu tiga tahun sejak undang-undang itu disahkan untuk mengajukan kompensasi. Batas waktu tersebut dianggap tidak berpihak pada korban yang masih trauma atau menghadapi hambatan akses informasi. Sejumlah penyintas kemudian menggugat ke MK.

MK pun mengabulkan sebagian permohonan tersebut pada 29 Agustus 2024. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pembatasan waktu tiga tahun itu bertentangan dengan semangat keadilan konstitusional. Korban kini diberikan waktu tambahan untuk mengajukan hak mereka hingga pertengahan 2028.

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menegaskan bahwa korban langsung dari aksi terorisme berhak atas kompensasi finansial, yang besarannya ditentukan berdasarkan tingkat luka yang diderita: Rp250 juta untuk korban meninggal dunia, Rp210 juta untuk korban luka berat,

Rp115 juta untuk korban luka, Rp75 juta untuk korban luka ringan

“Tak hanya kompensasi, para penyintas juga bisa memperoleh bantuan medis, psikologis, hingga layanan psikososial bila hasil asesmen awal menyatakan diperlukan,” jelasnya dikutip dari tribunpalu.com.

Proses penilaian ini dilakukan oleh tim asesor independen yang ditugaskan untuk mengkategorikan korban dan menentukan bentuk dukungan yang sesuai.

Sementara itu, Rahel, Kasubdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme BNPT, menjelaskan bahwa lembaganya bertugas menerbitkan Surat Penetapan Khusus Korban untuk peristiwa-peristiwa terorisme yang terjadi antara 2002 (berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2002) dan 2018 (saat UU No. 5 Tahun 2018 diundangkan).

“Surat ini penting sebagai dasar hukum agar korban bisa mengajukan haknya ke LPSK,” ujarnya.

Meskipun kewenangan penerbitan surat ini sempat dihentikan pada 2021, putusan MK memberi kesempatan baru bagi para korban yang belum terdata. BNPT kini membuka akses seluas-luasnya melalui situs dan media sosial resmi untuk pengajuan permohonan.

Rahel menekankan pentingnya sinergi antara lembaga dan masyarakat untuk memastikan tidak ada korban yang tertinggal. Pemerintah, kata dia, tidak hanya fokus pada bantuan finansial, tetapi juga pada pemulihan menyeluruh—baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

“Ini adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap hak asasi para penyintas. Negara harus hadir, bukan hanya saat terjadi tragedi, tapi juga dalam proses pemulihan yang panjang,” tutup Rahel.