Jakarta – Peristiwa ancaman bom terhadap pesawat Saudi Airlines SV-5726 yang membawa jemaah
haji Indonesia menjadi perhatian serius parlemen. Legislator Komisi III DPR RI, Surahman Hidayat,
menyebut insiden itu bukan hanya soal gangguan penerbangan, melainkan juga ancaman terhadap
keamanan nasional.
Pesawat yang mengangkut jemaah Kloter 12 Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS) itu harus melakukan
pendaratan darurat di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, setelah otoritas menerima ancaman bom
via surat elektronik berbahasa Inggris.
Dari hasil penelusuran awal, email tersebut diketahui dikirim dari lokasi yang terdeteksi di India.
Namun, identitas pengirim belum dapat dipastikan karena diduga menggunakan teknik penyamaran
digital canggih.
“Saya mengapresiasi respons cepat dari tim penjinak bom Brimob Polda Sumut, jajaran TNI, dan pihak
otoritas bandara yang sigap mengamankan situasi. Namun, kita tidak boleh berhenti di situ. Harus ada
penyelidikan mendalam hingga ke akar pelaku dan motifnya,” ujar Surahman melalui laman resmi
DPR.
Menurut politisi PKS asal Jawa Barat itu, ancaman semacam ini masuk dalam kategori tindak pidana
berat. Bahkan, bisa dikualifikasikan sebagai terorisme jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Ancaman bom, meski palsu, yang menimbulkan kepanikan luas terhadap fasilitas vital seperti
pesawat dan bandara, berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana terorisme,” tegasnya.
Selain itu, Pasal 437 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa penyebar
informasi palsu yang membahayakan penerbangan bisa dikenai hukuman penjara hingga delapan
tahun. Bahkan dalam KUHP baru, Pasal 600 mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang
menyebarkan informasi palsu yang mengganggu ketertiban umum.
Surahman juga mengapresiasi keterlibatan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror yang
menggandeng Interpol dan otoritas keamanan Arab Saudi untuk memburu pengirim ancaman. Ia
menilai kerja sama lintas negara sangat krusial, mengingat pelaku kemungkinan menggunakan teknik
VPN, email spoofing, hingga botnet untuk menyamarkan jejak digitalnya.
“Alamat IP tidak bisa dijadikan patokan utama. Bisa saja pelaku memalsukan lokasi menggunakan VPN
atau memantulkan sinyalnya ke negara ketiga,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penyelidikan cybercrime secara menyeluruh, mulai dari digital forensik,
analisis metadata, hingga audit keamanan bandara. Surahman juga meminta agar sistem deteksi
ancaman siber diperkuat demi mencegah insiden serupa di masa mendatang.
“Ini bukan hanya soal gangguan teknis. Nyawa ratusan jemaah dipertaruhkan. Ini juga menyangkut
kepercayaan publik terhadap sistem keamanan negara,” ujarnya.
Surahman menilai insiden ini harus menjadi peringatan serius (wake-up call) bagi seluruh pemangku
kepentingan di sektor penerbangan untuk memperkuat keamanan digital dan operasional.
“Kita perlu mengevaluasi ulang seluruh protokol pengamanan bandara, serta memperbarui teknologi
untuk mendeteksi dan merespons ancaman siber secara real time,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!