Rawat Keragaman Indonesia dengan Kurikulum Berbasis Cinta Sangat Relevan dengan Indonesia

Jakarta – Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan gagasan penting:
kurikulum berbasis cinta. Menurutnya, kurikulum ini bertujuan
membentuk generasi muda yang memiliki pandangan, sikap, dan perilaku
toleran terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, maupun budaya.

“Kita harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang kepada anak didik
sejak dini. Dengan kurikulum berbasis cinta, kita ingin melahirkan
manusia yang tulus dan beriman, tanpa rasa kebencian terhadap mereka
yang berbeda, terutama dalam hal agama,” ujar Menteri Agama beberapa
waktu lalu.

Dosen Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia Dr
Thobib Al Asyhar, S.Ag., M.Si., mengatakan gagasan ini, jika
direnungkan, sangat relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang
kaya akan keberagaman—dari Sabang sampai Merauke, beragam suku, agama,
dan budaya hidup berdampingan. Namun, keberagaman ini adalah warisan
yang harus dijaga, bukan sekadar dihormati. Kerukunan antarumat
beragama menjadi pondasi penting bagi keberlangsungan bangsa.

Ia mengungkapkan bahwa kurikulum berbasis cinta ini bertujuan
menjadikan pendidikan agama lebih dari sekadar pembelajaran ritual dan
tata cara beribadah. Kurikulum ini mengajarkan nilai-nilai toleransi
dan moderasi, membentuk karakter yang tidak hanya menghargai
perbedaan, tetapi juga mampu hidup berdampingan tanpa merasa paling
benar.

“Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar emosi. Ia adalah sikap yang
diwujudkan melalui tindakan—menghormati perbedaan, merangkul
keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Cinta yang
inklusif dan universal, cinta kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam
semesta,”  ungkapnya dikutip dari laman Kemenag RI, Senin (13/1/2025).

Pendidikan berbasis cinta, menurutnya, juga mengingatkan kita bahwa
agama bukanlah alat untuk memisahkan atau menghakimi. Sebaliknya,
agama adalah jalan menuju kedamaian, kasih sayang, dan persatuan.
Melalui pendekatan ini, generasi muda diajarkan untuk melihat
keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman.

Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI ini ini melanjutkan bahwa dalam
pendidikan agama, madrasah memiliki peran strategis. Bukan hanya
mengajarkan ilmu agama, madrasah juga membentuk karakter siswa. Dengan
kurikulum berbasis cinta, siswa dilatih untuk menghargai perbedaan,
berempati, dan hidup harmonis dalam masyarakat yang majemuk.

Namun, tantangan besar seperti intoleransi dan ekatremisme harus
dihadapi dengan serius. Untuk itu, Kementerian Agama memiliki tanggung
jawab besar. Ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil.

Pertama, memperkuat Pendidikan Multikultural. Siswa perlu memahami
keberagaman agama dan budaya untuk membangun penghormatan terhadap
perbedaan. Kedua, pelatihan guru yang rahmatan lil-alamin. Guru perlu
dilatih secara mendalam agar mampu menanamkan nilai-nilai cinta dan
toleransi, sekaligus menghadapi isu intoleransi yang muncul di
masyarakat.

Ketiga, pentingnya kolaborasi dengan banyak pihak. Kemenag dapat
menggandeng lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan untuk
merancang kurikulum yang lebih inklusif dan memperkuat nilai-nilai
kebangsaan.

Ia menjelaskan bahwa kurikulum berbasis cinta ini lebih dari sekadar
inovasi pendidikan. Ini adalah langkah penting untuk membangun
kesadaran bahwa kerukunan antarumat beragama adalah tanggung jawab
kolektif seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kerukunan, stabilitas sosial
tidak akan terjaga..

“Malalui pendidikan berbasis cinta, kita menanam benih generasi yang
toleran, moderat, dan cinta damai. Generasi ini akan melihat perbedaan
sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Dalam konteks Indonesia, kedamaian
adalah harta paling berharga,” ujar Thobib.

“Melalui langkah kecil ini, kita berupaya menciptakan masa depan
Indonesia yang lebih baik—sebuah bangsa yang kuat dalam keberagaman,
moderat dalam berpikir, dan penuh cinta terhadap sesama. Sehigga,
Indonesia sebagai laboratorium kerukuna