Surakarta – Toleransi merupakan aspek fundamental dalam menjaga
harmoni masyarakat majemuk seperti Indonesia. Namun perlu dipahamii
batas-batas yang sesuai dengan ajaran agama.
“Dalam konteks liburan akhir tahun, yang kerap bersinggungan dengan
hari besar agama lain seperti Natal, umat Islam harus menjaga hubungan
harmonis tanpa mencampurkan ajaran agama,” ujar Syamsul Hidayat, Ketua
Majelis Tarjih PWM Jawa Tengah sekaligus Dekan Fakultas Agama Islam
(FAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Selasa
(17/12/2024Selasa (17/12) ).
Pernyataan itu disampaikan Syamsul saat menjadi narasumber kajian tarjih daring
yang diadakan oleh UMS kembali menjadi ajang diskusi penting terkait
isu keberagaman. Kegiatan ini digelar Biro Pengembangan Sumber Daya
Manusia (BPSDM) UMS menggandeng jaringan Majelis Tarjih Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dengan tema “Hubungan dan
Toleransi Antar Umat Beragama: Pemahaman Batas-Batasnya.”
Ia merujuk pada Surah Al-Kafirun sebagai panduan hubungan antarumat
beragama. Dalam surah tersebut, terdapat prinsip tegas: “Bagimu
agamamu, bagiku agamaku.” Menurutnya, sikap ini menegaskan bahwa Islam
menghormati keberadaan agama lain tanpa mencampurkan keyakinan atau
ritual ibadah.
Lebih lanjut, Syamsul menyoroti bahaya sinkretisme, yaitu
mencampuradukkan ajaran agama yang berbeda. Ia menyebut pluralisme
dengan basis sinkretisme dapat mengarah pada kemusyrikan. “Misalnya,
dalam mengucapkan salam lintas agama atau ikut serta dalam ritual
ibadah agama lain, itu bisa menimbulkan masalah dalam akidah,”
jelasnya.
Terkait perayaan Natal, Syamsul mengingatkan bahwa umat Islam
memandang Nabi Isa Almasih sebagai nabi dan rasul, bukan sebagai Tuhan
seperti yang diyakini kaum Nasrani. Ia juga menambahkan bahwa
berdasarkan kajian Al-Qur’an dan Injil, kelahiran Nabi Isa
diperkirakan terjadi pada musim semi, bukan tanggal 25 Desember.
“Sebagai umat Islam, kita menghormati keyakinan kaum Nasrani yang
memperingati Natal pada 25 Desember. Namun, penting untuk tetap berada
dalam koridor keyakinan Islam,” tegasnya.
Diskusi ini juga menggarisbawahi pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang perayaan Natal. Syamsul
mengutip fatwa tarjih yang melarang umat Islam mengikuti ritual
keagamaan dalam perayaan Natal karena mengandung dimensi ibadah.
“Kalau hanya menghadiri acara sosial tanpa unsur ritual, itu masih
masuk kategori syubhat. Namun, jika ada indikasi ibadah, maka hukumnya
haram,” paparnya. Ia juga mengingatkan umat Islam agar tidak mudah
terjebak dalam perkara syubhat karena dapat menjurus pada pelanggaran
akidah.
Fatwa ini, tambah Syamsul, telah ditegaskan dalam Musyawarah Wilayah
Tarjih Muhammadiyah Jawa Tengah periode 2005-2010 dan merujuk pada
fatwa MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Salah satu poin penting
adalah larangan mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani karena
dianggap melampaui batas keyakinan.
Melalui kajian ini, Syamsul mengajak umat Islam untuk terus membangun
hubungan harmonis dengan penganut agama lain tanpa mengabaikan prinsip
akidah. Toleransi bukan berarti menyeragamkan keyakinan, tetapi
memahami dan menghormati perbedaan yang ada.
“Sebagai bagian dari bangsa yang majemuk, kita perlu menciptakan ruang
dialog yang sehat dan saling menghormati, tetapi tetap menjaga
kemurnian ajaran agama masing-masing,” tutup Syamsul.