Kebumen – Perkembangan teknologi informasi telah menjadi pisau bermata
dua. Di satu sisi, teknologi memudahkan akses informasi, namun di sisi
lain, juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham
ekstrem secara masif.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan, terutama dengan semakin maraknya
kasus pekerja migran Indonesia (PMI) yang terpapar radikalisme.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
hingga saat ini sudah ada 117 PMI yang dideportasi atau ditahan karena
terlibat dalam kegiatan terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa PMI
menjadi sasaran empuk bagi kelompok radikal.
Data tersebut diungkapkan dalam Sosialisasi Pencegahan Ekstrimisme
Berbasis Kekerasan untuk Komunitas Kebumen yang digelar oleh Migrant
Care bersama dengan BNPT di Hotel Mexolie Kebumen, Jumat (6/12).
Sosialisasi diikuti oleh 55 peserta terdiri atas komunitas pekerja
migran di Kebumen, pemerintah desa, komunitas Desa Peduli Buruh Migran
(Desbumi) Kebumen, BP2MI, BP3MI Kebumen, Kawan PMI, PEKKA, BNPT
Jakarta, dan staf Migrant Care. Adapun negara-negara seperti Korea
Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan menjadi sasaran penyebaran
paham radikalisme di kalangan PMI.
Penyebaran ini seringkali melalui media sosial dan pemahaman agama
yang keliru. Berdasarkan hasil kajian BNPT tentang Perlindungan WNI di
Luar Negeri dari Keterlibatan Pendanaan Terorisme turut menemukan
beberapa hal ini.
Bahwa perasaan termarjinalisasi, kemampuan ekonomi yang cukup baik,
serta keterbukaan dan kebebasan akses terhadap informasi tanpa adanya
pengawasan yang optimal menjadikan PMI berpotensi direkrut jaringan
terorisme dan dibujuk untuk mendanai kelompok terorisme.
Senior Program Manager Migrant Care Jakarta Mulyadi mengatakan bahwa
mengingatkan bahwa tindakan sekecil menyukai atau memberikan donasi
pada konten radikal di media sosial dapat berakibat fatal.
“Penting bagi PMI untuk mewaspadai segala bentuk propaganda
radikalisme,” tegasnya.
Cak Mul, sapaan karibnya menambahkan bahwa sosialisasi itu dilakukan,
guna melakukan pencegahan sejak dini masuknya tindakan-tindakan
ekstrimisme berbasis kekerasan kepada para pekerja migran.
“Kegiatan ini bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai
pentingnya pencegahan sejak dini upaya atau tindakan-tindakan
ekstrimisme berbasis kekerasan,” kata Cak Mul.
Melalui sosialisasi ini dapat memberikan pemahaman akan prinsip
keberagaman, toleransi, GEDSI, dan inklusifitas sebagai dasar untuk
mengurangi potensi ekstremisme kekerasan. Juga memberikan pemahanan
cara-cara pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan di tingkat
komunitas.
Lebih lanjut, Cak Mul menambahkan, pintu masuk paham terorisme ini
banyak yang berupa tontonan di laman media sosial, maupun pemahaman
beragama yang salah. Untuk itu, hal tersebut perlu dicegah sejak dini,
agar buruh migran Indonesia terlindung dari paham terorisme dan bisa
bekerja dengan baik di negara tujuan mereka.
“Upaya-upaya ini perlu disebarluaskan secara masif kepada masyarakat
supaya tidak ada lagi pekerja migran kita yang terpapar kepada
ekstrimisme yang berbasis terorisme,” jelasnya.
Di beberapa negera aturannya sangat ketat. Jika ada pekerja migran
yang mengikuti atau meng-like atau memberikan donasi dana dapat
dikategorikan terpapar paham ekstrimisme.
“Pentingnya pengetahuan tersebut. Jangan sampai rasa solidaritas
sesama justru menjebak ke paham ekstrimisme,” pungkas Mulyadi.