Ciptakan suasana Pendidikan yang Nyaman dan Harmoni, Guru berperan besar lindungi Murid dari Intoleransi, Kekerasan dan Bullying   

Manokwari – Paham terorisme tidak muncul secara tiba-tiba ke seluruh kalangan. Tentunya hal tersebut menjadi perhatian seluruh  pihak, utamanaya juga harus dilakukan para guru dalam melindungi murid dan sekolahnya dari penyebaran paham intoleransi, radikalisme, terorisme, kekerasan dan bullying di sekolah untuk menciptakan suasana Pendidikan aman, nyaman dan harmoni.

Hal tersebut dikatakan Akademisi dari Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Muhammad Abdullah Darraz, MA., M.Ud., saat menjadi narasumber pada pembukaan acara  “Pelatihan Guru Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan dan Bullying”.  

Acara yang merupakan hari pertama dari bagian Program Sekolah Damai yang diadakan oleh Subdit Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) ini berlangsung di Aula SMK 2, Manokwari, Papua Barat, Rabu (13/11/2024) dengan dihadiri hampir 100 guru SMA/SMK sederajat yang ada di Papua Barat.

“Tidak ada satupun sekolah yang mengajarkan radikalisme dan terorisme, tetapi sekolah harus waspada dan menjadi cure bagi siswa yang terpapar. Karena apabila kita berhasil melakukan Pencegahan maka akan menjadikan peluang Indonesia ke depan menjadi negara yang harmoni. Tentunya semua pihak di lingkungan sekolah harus bersama-sama untuk meningkatkan kewaspadaan agar anak-anak bisa mencegah dari paham-paham yang bisa merusak,” ujar Muhammad Abdullah Darraz, MA., M.Ud..

Dijelaskan Tokoh Muda Muhammadiyah ini, virus radikal terorisme ini bisa.menjangkit kepada siapa saja. Bahkan radikalisme dan terorisme ini seringkali diidentikkan dengan komunitas agama tertentu,

padahal agama manapun menolak praktik terorisme.

“Selama ini  agama mengajarkan kepada kemuliaan cinta dan kasih.  Namun seiring berjalannya waktu ada banyak oknum yang menjalankan kekerasan dengan menyalahgunakan agama untuk menjalankan praktek kekerasan tersebut,” ujarnya.

Demikian juga dengan intoleransi. Menurutnya intoleransi ini  adalah penolakan untuk menerima ide,keyakinan dan perilaku yang berbeda dengan yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Intoleransi dimankanai sebagai sikap dan aksi yang bertukuan untuk menolak, menentang hak sipil masyarakat yang berbeda, meski hak tersebut dijamin oleh konstitusi. Termasuk penolakan dan penentangan terhadap kelompok minoritas.

“Semakin ia intoleran dan menolak perbedaan, maka semakin rentan dia terpapar radikalisme. Di sinilah kemudian peran guru, menumbuhkan sikap toleran pada siswanya,” ujarnya

Dijelaskanya, selama ini kelompok radikal menyasar sekolah umum karena sekolah ini dianggap tidak punya basis keagamaan yang kuat. Jadi mereka cenderung menyasar sekolah-sekolah umum dan juga kalangan lain.

“Keagamaan di sekolah umum lebih lemah dari pada diskursus di satuan pendidikan berbasis keagamaan seperti pesantren. Beda dengan sekolah keagamaan yang cenderung lebih susah untuk diinfiltrasi. Pemahaman keagamaan yang kuat dapat menjadi tameng ketahanan untuk mencegah paham radikalisme di lingkungan sekolah,” ucapnya.

Bahkan sekarang ini menurutnya radikal terorisme ini sudah memasuki dan mencari celah untuk masuk ke lingkungan aparat, ASN dan semua level yang berpotensial untuk menjadi arena keterpaparan radikal ekstremisme dan terorisme. “Dan tentunya ini menjadi kewaspadaan kita semua,: ujarnya.

Sementara itu narasumber lain yang dihadirkan dalam pelatihan ini yaitu mantan napi terorisme (mitra deradikalisasi), Muhtar Daeng Lau mengatakan bahwa guru yang hebat adalah mereka yang pernah memberi peluang terbaik kepada muridnya.

“Hari ini kita membutuhkan guru yang hebat agar di kemudian hari negara menjadi kuat. Pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa, Kualitas pendidikan yang baik tentunya akan menghasilkan generasi cerdas dan berkarakter yang siap membangun negara,” ujar Muhtar Daeng Lau.

Dikatakannya, terjadinya intoleransi ini dapat berdampak yang luas bagi bangsa ini. Dirinya mencontohkan, pelaku intoleran biasanya mengajak banyak orang atau menghasut banyak orang agar paham intolerannya tersebut dapat disebar luaskan sehingga paham intoleran dapat diterima oleh orang-orang disekitarnya.

“Saya sebagai mantan narapidana kasus terorisme, sangat menyayangkan proses peradilan terhadap anak. Saya ambil contoh dimana ada kasus pencurian oleh anak yang seharusnya menurut saya harus diselesaikan dengan cara restorative justice,” ujarnya

Karena menurut pengalamannya, ketika anak sudah masuk penjara dan kemudian dia bebas, maka anak tersebut akan menjadi lebih berbahaya. “Karena anak itu terinfluence narapidana lain yang berada di dalam lapas. Ini berlaku untuk pelaku anak dengan kejahatan ringan,” ujarnya menyayangkan.

Sementara itu narasumber lain yang dihadirkan dalam pelatihan tersebut yaitu  Psikolog untuk Komunitas Sekolah, Rinjani, S.Psi, M.Psi., mengatakan bahwa orang tua adalah role model bagi anaknya. Apabila anak mencontoh kekerasan yang dilakukan orang tuanya, ada kemungkinan anaknya tidak berani melakukan kekerasan di rumah, namun melakukannya di luar rumah/pada teman-temannya.

“Orang tua harus mendukung anaknya agar si anak mampu melakukan kontrol terhadap emosi diri, dan hal ini harus dicontohkan oleh orang tuanya. Pelaku bullying bisa jadi melakukan aksinya karena membutuhkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Ini disebabkan kurangnya perhatian di masa kecilnya,” ujarn Rinjani.

Dikatakannya, orang tua punya peranan sangat penting dalam upaya menekan tiga dosa besar dalam dunia Pendidikan. Guru dan orang tua jangan sampai mengeluarkan kata-kata kasar terhadap anak karena berpotensi menurunkan percaya diri si anak.

“Jika tidak memiliki sistem kendali diri yang baik, maka seseorang akan cenderung lebih mudah melakukan tindak kekerasan, dan hal ini disebabkan oleh  pola pendidikan dalam keluarga ketika seseorang masih kecil, Yang kita kuatirkan kekerasan yang dialami anak akan terbawa hingga seumur hidupnya,” ujarnya mengingatkan.

Untuk itu dirinya berpesan agar Masing-masing dari guru, orang tua, dan murid berkewajiban bersama sama untuk memutus mata rantai kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah dan sekolah.

Acara yang dibuka Kasubdit Kontra Propaganda BNPT, Kolonel Cpl. Hendro Wicaksono, SH., M.Krim., ini  juga dihadiri  Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Papua Barat, Abdul Fatah, S.Pd., MM.

Sementara hari kedua program Sekolah Damai di Papua Barat dengan mengambil tema “ Pelajar Cerdas, Cinta Damai, Tolak Intoleransi, Bullying dan Kekerasan” ini akan berlangsung Kamis (14/11/2024) besok di SMK 2 Manokwari dengan menghadirkan sebanyak 300 siswa tingkat SMA/SMK yang ada di Manokwari.

Acara tersebut menghadirkan beberapa narasumber seperti Staf Ahli bidang Pencegahan  Kedeputian I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Prof. (Hc.). Dr. Muhammad Suaib tahir, Lc, MA,   Redaktur Pelaksana Pusat Media Damai (PMD) BNPT, Abdul Malik MA., dan Psi  dan juga Influencer Pendidikan, Vestita Elsada Rumaikewi. Acara ini juga melibatkan Duta Damai BNPT Regional Papua Barat sebagai fasilitator.  Kegiatan itu juga diwarnai dengan lomba menggambar di ember tempat sampah dengan tema “Tolak Intoleransi, Kekerasan dan Bullying yang diikuti seluruh sekolah yang hadir.