Kelompok JAD Cenderung Tertutup dan Anti Dengan yang Berbeda

Jakarta – Beberapa hari lalu, Densus 88 Antiteror Mabes Polri
menangkap tiga terduga teroris kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
di Jawa Tengah. Ketiga orang itu terbukti aktif melakukan propaganda
melalui media sosial. Mereka juga tengah merencanakan serangkaian aksi
terorisme.

Menanggapi fakta itu, Kaprodi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhammad
Syauqillah PhD kembali menyoroti aksi terorisme yang kian berkembang
di media sosial (medsos). Menurutnya, penangkapan itu menjadi bukti
sel-sel teroris, khususnya JAD, masih banyak berkeliaran di tengah
masyarakat.

“Mereka anggota JAD kelompok yang terafiliasi dengan ISIS. Mereka
menggunakan media sosial untuk menyebarkan paham radikal,” ujar
Syauqillah dalam diskusi bersama Pro 3 RRI, Jumat (8/11/2024).

Menurutnya, Ideologi tersebut sangat mengancam generasi muda, terutama
bagi mereka yang rentan terhadap oleh narasi ekstrem di dunia maya.
Para pelaku menggunakan media sosial untuk menyebarkan paham takfiri,
yang merupakan tuduhan seseorang beragama Islam yang murtad.

Lebih lanjut, ia menjelaskan anggota JAD cenderung lebih tertutup dan
tidak mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Berbeda dengan
kelompok teroris sebelumnya seperti Jamaah Islamiyah (JI) yang
memiliki kemampuan bersosialisasi dengan lebih baik.

“Anggota JAD lebih cenderung diam, berbeda dengan anggota JI yang
lebih mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Kelompok ini, terutama
yang berafiliasi dengan ISIS, memiliki pandangan yang sangat berbeda
terhadap orang lain,” katanya, menjelaskan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman terorisme tidak hanya datang
dari kelompok besar yang terorganisir. Tetapi juga dari individu atau
kelompok yang terpapar melalui internet.

“Terkadang mereka bergabung dengan kelompok teroris tanpa harus
bertemu langsung. Banyak dari mereka yang dikenal sebagai pelaku ‘lone
wolf’ atau individu yang bertindak sendiri setelah terpapar ideologi
radikal melalui internet,” ujarnya.

Dengan semakin berkembangnya media sosial dan penggunaan internet
semakin meluas, tantangan untuk mencegah penyebaran paham radikal
semakin besar. Oleh karena itu, kerja sama antara pemerintah,
masyarakat, dan platform digital menjadi kunci penting dalam memerangi
ancaman terorisme.