Lingkungan Sekolah Harus Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying

Banda Aceh – Hari kedua Workshop Siswa dengan tema Pelajar Cerdas
Cinta Damai di SMKN 2 Banda Aceh menghadirkan tiga narasumber yaitu
Budi Hartawan (Analis Pusat Media Damai BNPT), Cut Vivia Talitha
(influencer), dan Muh Aulia (eks Napiter).

Budi Hartawan, Analis Pusat Media Damai BNPT, mengatakan tantangan
kebangsaan saat ini adalah intoleransi, radikalisme, terorisme,
korupsi, separatisme, konflik SARA, narkoba dan hoaks.

Dirinya mengungkapkan penting untuk diingat bahwa keberagaman adalah
bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan, terutama di Indonesia yang
kaya akan budaya dan suku bangsa sehingga pentingnya memiliki sikap
toleran.

“Kita semua harus punya sikap toleransi. Toleransi dengan menghormati
perbedaan, menghargai yang berbeda, mengakui yang berbeda”, katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, lingkungan sekolah harus terbebas dari
sikap intoleransi. Untuk mencegah intoleransi, sekolah perlu
mengajarkan sikap terbuka dan saling menghormati.

Budi berpesan kepada siswa peserta workshop untuk menjauhkan sikap
intoleransi, kekerasan dan bullying karena hal tersebut dapat membawa
pengaruh buruk terhadap kehidupan siswa.

Dirinya mencontohkan kadang kita tidak sadar sering melakukan
pembullyian dengan membuat sticker WA wajah teman. Hal tersebut bisa
menimbulkan rasa benci dan dendam karena pembulyan berawal dari
hal-hal yang sepele.

“Dampak perundungan sangat besar, dari rendahnya kepercayaan diri,
kecemasan, hingga depresi. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem,
perundungan dapat berujung pada keinginan untuk melakukan tindakan
menyakiti diri sendiri, jadi para siswa harus menghindari hal
tersebut”, sambungnya.

Narasumber kedua Cut Vivia Talitha berbagi pengalamannya sebagai
influencer. Dirinya mengungkapkan tindakan perundungan terjadi karena
seseorang tidak suka dengan hal positif yang dilakukan orang lain.

“Bullying itu tergantung dengan lingkungan sekitar, jika ada teman
yang tidak positif untuk kita, ya udah tidak usah dipaksakan. Hindari
orang-orang yang memberikan energi negatif kepada kita, jika tidak
cocok tidak usah dipaksakan berteman,” ungkapnya.

Influencer asal Aceh ini memiliki konten di media sosial Instagram
bertajuk “Luar Kelas”, di mana konten tersebut memberikan informasi
kepada pengguna sosial media bahwa belajar bisa dilakukan di mana
saja.

“Aku punya tagline “Selamat Datang di Luar Kelas”, karena ada banyak
hal yang bisa kita pelajari di luar kelas yang tidak kita pelajari di
dalam kelas, maka dari itu kita harus belajar di luar kelas”, katanya.

Menurutnya, proses belajar juga bisa didapat dari lingkungan
pertemanan di sekolah. Dirinya menegaskan jangan memandang rendah
seseorang dari nilai akademisnya saja.

“Kesuksesan seseorang di masa depan tidak bisa dilihat hari ini pada
saat kita masih sekolah, bisa saja yang ranking akhir belum tentu
tidak sukses, yang ranking 1 memang sudah pasti pintar, tetapi yang
ranking terakhir belum tentu tidak pintar”, sambungnya.

Sementara mantan narapidana terorisme, Muh. Aulia juga memaparkan
pengalamannya bergabung dengan kelompok ISIS kepada 300 siswa SMA/SMK
se-Banda Aceh .

Dirinya mengungkapkan tahun 2017 tertangkap di Turki, ditahan disana
sebentar dan dipulangkan di Indonesia. Pada saat itu 2014
Undang-Undang Terorisme belum setajam sekarang, ada salah seorang
teman mereka bergabung dengannya di tahun 2017. Pada 2019 bergabung
kembali ke Afganistan dan tertangkap lagi oleh interpol dan
dipulangkan ke Indonesia. Tahun 2022 dirinya kembali ke Indonesia dan
mendapatkan serangkaian pembinaan dari BNPT dan Densus 88.

Dalam kesempatan itu, Aulia menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme.

“Kalau teroris dicirikan dengan jenggot atau perempuan bercadar, itu
merupakan sebuah penghinaan. Kalau kalian sudah membaca Al-Quran
secara utuh, kalian akan mengerti tidak ada ayat di Al-Quran yang
membicarakan untuk membenci agama lain selain Islam”, ungkapnya.

Lanjutnya, ketika Allah menyebutkan bahwa non-muslim merupakan saudara
kita, maka disini ukhuwah persaudaraan ada dua, yang pertama saudara
semanusia yang diciptakan sama-sama dari tanah, dan yang kedua saudara
sedarah.

Ia menegaskan kepada para siswa bahwa persamaan Islam dan Kristen
adalah toleransi. Walaupun ada batasan-batasan tertentu yang tidak
menggangu persatuan.