Pemuda-Pemudi Indonesia Penting Bangun Gerakan Sosial Lawan Intoleransi dan Promosikan Toleransi

Jakarta – Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada 28 Oktober 1928 harus selalu diingat seluruh warga Indonesia, khususnya bagi generasi muda, karena esensinya yang meletakkan semangat nasionalisme Nusantara. Di masanya, Kongres Pemuda mampu menyatukan kesadaran berbagai serikat kepemudaan, walaupun diantara mereka banyak perbedaan, Akademisi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Muhammad Abdullah Darraz, MA., M.Ud., menjelaskan bahwa pemuda Indonesia harus mampu menjadi pihak yang mengobarkan semangat nasionalisme. Pun di era sekarang ini, Darraz berharap agar generasi muda Indonesia dapat menjadi pionir dalam melawan ujaran kebencian dan diskriminasi. 

Hal ini perlu dilakukan dengan proaktif membangun komunikasi terhadap kelompok masyarakat yang rentan mendapatkan perlakuan intoleransi. Dengan demikian, kesetaraan hak sebagai sesama warga negara Indonesia bisa terjamin.

“Penting bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk membangun gerakan sosial yang bertujuan melawan intoleransi dan mempromosikan toleransi. Mereka dapat menggunakan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan pesan-pesan toleransi dan mengajak orang lain untuk bergabung,” ujar Darraz di Jakarta, Kamis (31/10/2024).

Menurutnya, Sumpah Pemuda mengajarkan bangsa ini untuk benar-benar bersungguh-sungguh dalam mempertahankan Persatuan dan Kesatuan bangsa. Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti terorisme, radikalisme, fragmentasi dan konflik horizontal. 

“Apalagi ketika menghadapi perhelatan kontestasi politik yang cenderung menciptakan fragmentasi sosial di tengah masyarakat, maka pesan Sumpah Pemuda mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan kesatuan untuk menghadapi tantangan tersebut,” jelas Darraz.

Selain itu, Darraz menyatakan bahwa Sumpah Pemuda telah menegaskan prinsip keutuhan dalam Perbedaan. Perbedaan tidak sepatutnya menjadi alasan dan penyebab bangsa Indonesia tidak bisa maju dan jaya. 

Perlu dipahami jika para Pemuda-pemudi yang mengikrarkan diri pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, itu berasal dari latar belakang suku, agama, dan ras yang beragam dan berbeda. Oleh karena itu, Sumpah Pemuda dianggap sebagai penegasan bahwa perbedaan yang ada bukanlah penghalang untuk bersatu dan membangun bangsa.

Darraz juga mengingatkan bahwa di dalam Sumpah Pemuda terkandung nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Dalam kondisi apapun, para pemuda dan pemudi Indonesia perlu terus memperjuangkan demokrasi yang adil dan bermartabat.

“Sumpah Pemuda membawa pesan tentang pentingnya memperjuangkan Kebebasan, Kemerdekaan, kemakmuran dan keadilan. Sumpah Pemuda adalah bukti tekad bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Bahkan Sumpah Pemuda mengajarkan kita tentang kebebasan yang penuh tanggungjawab dalam membangun bangsa ini, melepaskan bangsa ini dari jerat kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Oleh karenanya, melalui spirit Sumpah Pemuda, kita perlu terus berjuang untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap tokoh muda Muhammadiyah ini.

Darraz yang juga sering menyoroti isu kebangsaan dalam penelitiannya ini, menambahkan bahwa generasi muda Indonesia harus punya peranan dalam menguatkan semangat nasionalisme di lingkungannya masing-masing. Hal ini bisa dimulai dengan mencegah sebaran informasi yang bermuatan intoleransi, radikalisme, bahkan yang mengarah pada tindak terorisme.

“Pemuda Indonesia sedini mungkin harus meningkatkan literasi dan sikap kritis terhadap paparan Informasi. Generasi muda harus aktif mencari informasi dari berbagai sumber, tidak hanya dari media sosial, namun juga dari referensi dengan penulis yang kompeten di bidangnya. Mereka perlu belajar membedakan informasi yang kredibel dan akurat dari informasi yang menyesatkan atau provokatif,” terangnya. 

Generasi muda, tambah Darraz, juga perlu mempromosikan dialog dan toleransi. Dengan segala keragaman Indonesia, generasi muda harus dapat membangun komunikasi yang sehat, dan bahkan dapat berperan aktif sebagai jembatan penghubung antar kelompok dengan perbedaan keyakinan, budaya, atau latar belakang. 

“Kuncinya adalah pada perjumpaan dengan komunitas yang berbeda. Mereka dapat memulai dialog yang terbuka dan saling menghormati untuk memahami perspektif yang berbeda,” kata Darraz.