Paham kekerasan, terutama yang kerap mengatasnamakan diri sebagai perwakilan dari agama, semakin mengkhawatirkan. Berbagai aksi kekerasan yang mereka pertontonkan di media telah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa besar di masyarakat. Dalam konteks ini, media –diakui atau tidak– turut mengambil peran dalam mempertontonkan aksi-aksi kekerasan ini baik dalam bentuk pemberitaan, maupun dalam bentuk yang lain. Pemberitaan yang baik akan membuat masyarakat informasi secara berimbang dan relevan, sementara pemberitaan yang tidak baik akan membuat masyarakat tercekik.
Dengan fakta di atas, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merasa perlu untuk menggandeng pihak media dalam upaya pencegahan penyebaran paham terorisme. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh BNPT, penyebaran paham kekerasan banyak dilakukan melalui media, baik cetak maupun digital. Karenanya BNPT bergerak cepat dengan menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk bersama-sama melakukan pencegahan dan pengawasan penyebaran paham radikalisme dan terorisme, terutama yang ada di media penyiaran.
Pelaksanaan kerjasama tersebut ditandai dengan penandatanganan MOU dan talk show Peningkatan peran media penyiaran dalam pencegahan paham ISIS yang dilaksanakan hari ini (jumat, 18 sept, 2015) di Hotel Sahid Jaya Jakarta.
Dalam laporan kesiapannya, Deputi 1 bidang pencegahan BNPT, Mayjen TNI Agus Surya Bakti, menyatakan bahwa pencegahan merupakan salah satu program kerja BNPT, dimana tujuan utamanya adalah mencegah penyebaran paham kekerasan dan mencegah agar terorisme yang pernah terjadi di Indonesia tidak lagi terjadi.
Kerjasama yang dilakukan oleh BNPT dan KPI ini bertujuan untuk meningkatkan peran aktif media penyiaran dalam mencegah kekerasan, terorisme, dan paham ISIS agar bangsa Indonesia selalu berada dalam kedamaian.
Hal ini tentu mendapat sambutan yang baik dari pihak KPI, seperti diutarakan oleh ketua KPI, Dr. Judhariksawan, M.H., yang menyatakan bahwa kegiatan ini memiliki nilai strategis dalam upaya mencegah paham-paham kekerasan. Seperti diakuinya, bibit-bibit kekerasan tidak hanya muncul dalam konteks jurnalisme, tetapi juga dalam tayangan-tayangan yang ada di media, sepertti sinetron, film pendek, dll. Karenanya KPI juga berupaya untuk melakukan filter terhadap tayangan-tayangan yang berisi contoh atau bahkan ajakan untuk berbuat kekerasan agar masyarakat tidak menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa.
Dalam sambutan penutupnya, Dr. Judhariksawan, M.H., juga mengingatkan kepada seluruh awak media agar lebih berhati-hati dalam memberitakan perihal terorisme, kasus yang baru saja terjadi di Amerika Serikat tentang seorang anak berusia 14 tahun yang sempat dituduh bagian dari terorisme hanya karena alasan rasial merupakan contoh betapa keinginan untuk memberitakan perihal kekerasan kerap kali justru menggiring pemberi berita kepada kekerasan yang lain.
Kegiatan yang dihadiri oleh Asosiasi lembaga Penyiaran, direktur program dan berita TV, pimpinan redaksi TV, dan pimpinan redaksi/direktur program radio ini akan berlangsung sampai pukul 12 siang ini.