Esensi Maulid Nabi Muhammad: Teladan dalam Keberagaman Indonesia

Jakarta – Ajaran dan teladan Nabi Muhammad SAW tetap relevan dan krusial dalam membangun persatuan di tengah keberagaman Indonesia. Perayaan Maulid Nabi yang serentak dilakukan di banyak daerah di Indonesia bukanlah sekadar hal yang rutin, namun sebagai wujud kecintaan umat Islam dalam mengingat sosok Nabi Muhammad SAW.

Prof. (HC) Dr. Muh. Suaib Tahir, Lc., MA. selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Dakwah wal Irsyad (PB DDI), mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi di Indonesia memiliki potensi besar untuk memperkuat kohesi sosial. 

“Perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. ini memang adalah suatu tradisi yang ada di Indonesia, yang dilakukan sejak dulu oleh nenek-nenek moyang kita. Namun, saya perlu memperingatkan adanya risiko penyalahgunaan momentum Maulid Nabi ini,” ujar Prof Suaib di Jakarta, Rabu (18/7/2024).

Dirinya menyayangkan jika perayaan Maulid Nabi ini, yang tujuan awalnya adalah untuk menjelaskan tentang sejarah, perilaku, dan akhlak Nabi, serta meningkatkan kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad, justru dimanfaatkan pada hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya, bahkan untuk agenda politis.

“Jangan sampai tokoh-tokoh agama atau para pemuka-pemuka masyarakat memanfaatkan perayaan Maulid Nabi ini sebagai ajang untuk kampanye atau sebagai ajang untuk mempromosikan agenda-agenda terselubung di antara mereka,” harap Prof. Suaib.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam, Prof. Suaib menekankan pentingnya menerapkan ajaran Nabi tanpa terjebak dalam fanatisme berlebihan.  

“Rasulullah sallallahu alaihi wasallam ketika hijrah ke Madinah, masyarakat di sana itu tidak tunggal, dalam artian beranekaragam masyarakatnya. Ada yang Nasrani, ada Yahudi, ada yang Muslim, dan ada juga yang tidak punya agama.”

“Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengajarkan tentang keadilan, bagaimana supaya mereka bisa hidup berhukum, bagaimana supaya mereka tidak fanatik, bagaimana supaya mereka bisa menyatu di dalam membangun Madinah,” lanjutnya.

Mengenai prinsip keadilan, empati, dan toleransi yang menjadi inti dari dakwah Nabi Muhammad, Prof. Suaib menegaskan, bahwa Rasulullah itu sangat melarang keras umatnya itu fanatik. Artinya sampai Rasulullah itu mengatakan bahwa bukanlah umatku kalau dia fanatik.

“Kita harus mengerti dengan ajaran agama lain, kita harus memaklumi budaya orang lain. Kita harus memaklumi tradisi orang lain, kita tidak bisa mengklaim bahwa ini salah, ini tidak benar, dan lain sebagainya, lalu mencap mereka sebagai komunitas yang sesat,” tegasnya.

Prof. Suaib juga menekankan pentingnya dialog dan dakwah yang baik. “Dengan mengedepankan dialog, berdakwah dengan baik, maka orang lain akan mengerti. Orang lain akan memahami agama kita, dan kita tidak harus mengatakan bahwa kamu harus begini, kamu harus begini, ini salah, ini salah dan lain-lain sebagainya,” jelasnya.

Dalam konteks Nusantara, Prof. Suaib melihat banyak kesamaan antara masyarakat Madinah pada zaman Nabi dengan masyarakat Indonesia saat ini. “Saya pikir masyarakat Madani atau masyarakat Madinah, kurang lebih dengan masyarakat Indonesia, dalam artian bahwa masyarakat Madinah ketika Rasulullah SAW juga hijrah ke sana itu banyak komunitas. Di Indonesia juga banyak komunitas, ada yang beragama Hindu, ada yang beragama Buddha, ada yang beragama Kristen dan lain-lain,” ujarnya.

“Oleh karena itu, pola hidup yang dijalankan oleh Rasulullah SAW di dalam membina masyarakat di Madinah, harus menjadi contoh bagi kita di Indonesia supaya tidak terjadi benturan-benturan antara satu dengan yang lain,” tambahnya.

Prof. Suaib menekankan pentingnya mengedepankan kerukunan sosial dan saling pengertian antar komunitas. “Kita harus mengedepankan kerukunan sosial, kita harus mengedepankan kerukunan masyarakat. Kita harus mengedepankan antara satu dengan yang lain saling mengerti,” tegasnya.

Ia juga menyoroti peran penting para pemuka agama dalam mempromosikan nilai-nilai ini. “Para pendakwah, para dai, para ulama harus mengedepankan nilai-nilai seperti itu, bahwa ada kepentingan kita bersama di sini hidup di Indonesia. Kita sama-sama warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, kita punya tujuan yang sama, kita punya cita-cita yang sama,” ujarnya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang diajarkan Nabi Muhammad, Prof. Suaib yakin bahwa masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera. “Dengan prinsip-prinsip demikian atau yang kita istilahkan dengan al-qawasim al-musytarak atau common sense, maka kita bisa menjalankan, selain kita menjalankan nilai-nilai agama kita, juga menjalankan nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya.