Jakarta – Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dianggap sebagai ikatan yang mampu menyatukan banyak perbedaan. Melalui pemahaman Pancasila yang komprehensif, rakyat Indonesia diajak untuk saling mengenal satu dengan lainnya tanpa memandang suku, ras, ataupun agama. Pemahaman ini perlu ditanamkan sejak dini, bahkan mulai dari lembaga pendidikan formal, hingga satuan pendidikan keagamaan.
Direktur Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat/PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin, M.A., Ph.D., menjelaskan bahwa Pancasila harus diterapkan secara menyeluruh, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan pendidikan. Menurutnya, Pancasila dapat menjembatani perbedaan dari berbagai latar belakang.
“Pancasila harus diikutsertakan dalam pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pada institusi dengan identitas agama tertentu. Akan sangat baik dan indah kalau lembaga pendidikan beridentitas agama mampu menyambut baik kehadiran dari warga negara dari latar belakang agama yang berbeda,” ucap Didin di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta ini menambahkan, saat ini semakin banyak lembaga pendidikan yang homogen atau hanya mewadahi satu latar belakang agama saja. Menurutnya, Pancasila akan benar-benar diterapkan jika dalam lembaga pendidikan seperti ini juga memberikan pembelajaran yang membuat peserta didiknya bisa menghargai perbedaan agama di Indonesia, khususnya dalam kegiatan sehari-hari.
Dirinya berpendapat, adanya aspek keterbukaan antar warga negara yang berbeda keyakinan atau latar belakang, membuat masing-masing golongan masyarakat bisa mengenal secara langsung berbagai penganut agama lainnya. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terprovokasi melalui medsos ataupun sumber-sumber yang tidak bisa diacak asal usulnya.
“Dengan saling mengenal karena adanya rasa ingin membuka diri, masyarakat Indonesia mampu membentengi dirinya masing-masing dalam menghadapi hoax atau kabar bohong. Derasnya sebaran informasi yang tidak terkendali seringkali disalahgunakan untuk memprovokasi perpecahan,” imbuh Didin.
Didin yang berhasil menyelesaikan studinya di McGill University di Kanada ini menceritakan pula pengalamannya melakukan penelitian tentang kadar toleransi di kalangan anak-anak dan remaja. Dia menyimpulkan, anak-anak dan remaja yang toleran terhadap perbedaan agama adalah mereka yang punya pengalaman langsung hidup dalam kemajemukan.
Misalnya saja, kalau anak SMA di survei dan ditemukan toleran, ternyata berdasarkan riset kami, itu karena punya pengalaman di sekolahnya yang majemuk latar belakang, atau di masyarakatnya atau di tetangganya. Nah, karena itu keberagaman itu merupakan persyaratan untuk menunjukkan penerimaan dan penghargaan pada perbedaan.
“Pada tingkat makro, anak-anak dan remaja yang punya kecenderungan intoleransi itu rupanya juga mereka yang merasakan kesenjangan secara sosial dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup berpengaruh pada persepsi seseorang dalam menyikapi perbedaan latar belakang. Kami menyebut fenomena ini sebagai deprivasi ekonomi. Kesulitan-kesulitan hidup yang ada, dipersepsikan oleh mereka yang mengalaminya sebagai ketidakadilan. Ini yang kemudian juga dapat memicu timbulnya sikap intoleransi,” terang Didin.
Oleh karena itu, penanggulangan intoleransi tidak hanya terbatas pada pemberian pemahaman melalui pendidikan formal dan informal. Penerapan Pancasila secara menyeluruh juga bicara soal perbaikan kualitas hidup yang ujungnya peningkatan resistensi masyarakat terhadap ideologi transnasional.
Menurut Didin, penerapan Pancasila yang komprehensif juga masih menyisakan pekerjaan rumah yang belum usai. Sudah beberapa kali terdengar dan bahkan ramai di pemberitaan tentang adanya penolakan pendirian rumah ibadah bagi umat minoritas, padahal semua persyaratan administratif sudah mereka penuhi.
“Ketika kemarin ramai soal ormas agama diberikan izin mengelola tambang, Pemerintah sempat bertanya, ‘apakah teman-teman dari agama Kristen dan lainnya akan menerima kalau diberikan izin usaha tambang seperti kepada NU dan Muhammadiyah?’ Ternyata jawabannya adalah ‘buat kami nggak usah izin tambang, yang penting izin pendirian rumah ibadah bisa didapatkan dengan mudah.’ Pernyataan semacam ini secara jelas menunjukkan bahwa masih ada gesekan horizontal dalam pendirian rumah ibadah umat minoritas,” ungkap Didin.
Dia menambahkan, persoalan hak beribadah itu harusnya sudah sepenuhnya dijamin oleh negara untuk masing-masing warganya. Itu hak asasi setiap warga negara untuk bisa dengan leluasa dengan bebas beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
“Kalaupun ada persoalan dalam pendirian rumah ibadah, seharusnya itu lebih ke ranah teknis. Misalnya lokasi pendiriannya, tempat parkirnya cukup luas atau tidak. Kira-kira akan mengganggu kemacetan kota atau tidak. Jadi hal-hal teknis seperti itu. Bahwa hak beribadah dan hak mendirikan rumah ibadah harusnya sudah selesai dipenuhi,” tegas Didin.
Mengakhiri penjelasannya, Didin menyatakan bahwa memang ini semua bukan pekerjaan mudah, tapi arah ke sana harus menjadi perhatian bersama jika Indonesia ingin menjadi negara yang mampu menaungi semua kalangan.