Rantangan Terorisme Dunia Maya Perli Respons Kolektif dan Proaktif Negara ASEAN

 Jakarta – Seiring berkembangnya era teknologi, ASEAN terus mencoba
berbagai cara untuk memerangi kejahatan di dunia maya. Direktur
Eksekutif ASEAN Institute Peace and Reconcilliaton (ASEAN-IPR) I Gusti
Agung Wesaka Puja mengatakan, ASEAN beserta negara-negara anggotanya
telah membuat berbagai langkah dalam menangani ancaman terorisme dan
kejahatan siber.

“Upaya untuk mencapai perdamaian abadi menuntut kewaspadaan dan
adaptasi yang terus-menerus, terutama dalam menghadapi lanskap ancaman
yang terus berubah,” kata Puja dalam kegiatan ‘ASEAN-IPR DISCUSSION
SERIES 2024, Unravelling Cyberterrorism: Analysing Its Impact on
National Security’ di Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Berbagai upaya yang dilakukan ASEAN antara lain ASEAN Convention on
Counter Terrorism, the ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter
Terrorism, the Bali Work Plan, the ASEAN Declaration to Combat
Cybercrime, the ASEAN Cybersecurity Cooperation Strategy dan lain
sebagainya.

Namun, kata Puja, ancaman ini membentuk tantangan terorisme dunia maya
yang memerlukan respons kolektif dan proaktif seluruh warganya.

Puja menjelaskan, di kawasan Asia Tenggara, terorisme dunia maya telah
menjadi perhatian yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Pasalnya, ketergantungan kawasan tersebut pada teknologi digital telah
meningkat, dan kelompok-kelompok teroris telah menjadi lebih canggih
dalam penggunaan teknologi digital.

“Ancaman modern ini memanfaatkan infrastruktur digital kita yang terus
berkembang, yang berupaya mengganggu, merusak, atau memanipulasi
sistem dan data kita sehingga mengakibatkan konsekuensi yang parah
terhadap keamanan nasional dan regional,” terang dia.

Meski demikian, lanjut Puja, tidak adanya definisi yang disetujui
secara universal tentang ‘Terorisme Siber’ masih terus berlanjut. Ini
disebabkan sifatnya yang rumit dan beraneka ragam, sehingga
menimbulkan tantangan bagi diskusi yang lebih luas tentang masalah
ini.

“Daripada menghambat upaya kita menuju ketahanan dan perdamaian,
ketiadaan definisi seperti itu seharusnya memotivasi kita untuk
mendorong percakapan hari ini ke depan,” ujar Puja.

“Keamanan ASEAN terjalin dari kekuatan dan kerentanan negara-negara
anggotanya, karena keamanan regional mengalir melalui pembuluh darah
nasional,” tegasnya.

Menurut Puja. ASEAN terus berkembang pesat secara ekonomi melalui
teknologi digital, meskipun kerap menjadi target yang semakin menarik
bagi teroris siber yang berusaha mengeksploitasi kerentanan dalam
infrastruktur penting dan dunia maya.

Saat ASEAN berupaya meningkatkan keamanan regional terhadap ancaman
yang muncul ini, berbagai tingkat kesiapan keamanan siber dan
kemampuan teknologi di seluruh negara anggota ASEAN menghadirkan
tantangan unik, terlepas dari ketahanan masing-masing negara.

Puja menambahkan, ASEAN-IPR baru-baru ini juga menyelenggarakan
Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) di antara para ahli sebagai landasan
bagi Konferensi Regional ASEAN-IPR mendatang tentang Keamanan Siber
dan Peran Teknologi Informasi dalam Membina Budaya Damai di ASEAN,
yang menyentuh isu pencegahan radikalisasi.

“ASEAN-IPR sangat senang menyelenggarakan sesi pertama Seri Diskusi
2024, yang menandai langkah penting lainnya dalam komitmen kami untuk
berbagi pengetahuan tentang isu kritis Terorisme Siber di dunia kita
yang saling terhubung ini,” pungkasnya