Empat Bingkai Kerukunan untuk Topang Kekokohan NKRI

Empat Bingkai Kerukunan untuk Topang Kekokohan NKRI

Jakarta – Dalam upaya menangkal radikalisme dan terorisme, integrasi
antara aspek sosial, keagamaan, kearifan lokal, dan hukum menjadi
pilar penting dalam membangun kerukunan yang kokoh. Hal itu dikatakan
akademisi senior Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan. Menurutnya keberhasilan
dalam membangun integritas bangsa sangat tergantung pada sinergi
antara berbagai aspek diatas.

Terkait peran sinergi antara aspek sosial dan keagamaan dalam
membangun integritas bangsa, Prof. Abdul Munir menekankan bahwa kaum
petani yang lebih emosional dan pedagang yang lebih rasional sering
menjadi sasaran transisi ideologi berbasis kekerasan dengan metode
yang beragam. Hal ini ia sampaikan pada Jumat (9/8).

“Terduga teroris umumnya muncul dari kelas sosial transisi antara
petani dan pedagang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang
menggabungkan sentuhan emosional dengan rasionalitas untuk mengatasi
radikalisme,” jelas Staf Ahli Kepala BIN Bidang Sosial Budaya ini,
Senin (12/8/2024).

Ia menguraikan pendekatan emosional dapat dilakukan melalui pembuktian
empiris tentang nasib tragis yang dialami oleh korban tindakan
teroris, sementara pendekatan rasional bisa dilakukan dengan dialog
yang mengacu pada ajaran para salafus shalih dalam konteks dunia
modern.

Prof. Abdul Munir juga membahas mengenai ketimpangan pemerataan hak
yang sering dijadikan alasan bagi beberapa pihak untuk bertindak
radikal. Menurutnya, fakta ketimpangan pemerataan hak pada sebagian
rakyat Indonesia hanya satu alasan di antara banyak alasan yang bisa
memicu seseorang untuk berpikir dan bertindak radikal.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ketimpangan ekonomi dan sosial
bisa menjadi pemicu, faktor-faktor lain seperti pemahaman ideologi
yang salah dan pengaruh lingkungan juga berperan besar dalam memicu
tindakan radikal,” ungkapnya.

Dalam konteks regulasi, Prof. Abdul Munir menegaskan bahwa regulasi di
Indonesia sebenarnya sudah cukup mendukung keberagaman suku dan
budaya. Namun, ia menyoroti kurangnya sosialisasi yang masif mengenai
regulasi tersebut.

“Regulasinya sudah mencukupi namun sosialisasi tentang regulasi
tersebut dirasa kurang gencar dan masif. Pembubaran kegiatan yang
terkait keagamaan sering kali disebabkan oleh perbedaan pemahaman
tentang pokok ajaran dan aksesori, serta kurangnya kedewasaan dalam
sikap perilaku keagamaan,” ujarnya.

Prof. Abdul Munir menekankan pentingnya kearifan lokal dalam meredakan
tensi sosial yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridis
atau politis. Bangsa dengan beragam suku bangsa ini memiliki khasanah
kekayaan kearifan lokal yang dalam sejarah telah terbukti mampu
menyatukan yang beragam itu dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Menurutnya, proses dari “Bhinneka” menjadi “Tunggal Ika” adalah sebuah
perjalanan panjang yang memerlukan sosialisasi, indoktrinasi, dan
edukasi yang menyentuh rasa dan hati nurani, bukan sekadar hafalan.

Menjawab pertanyaan mengenai hambatan bagi agama-agama di Indonesia
untuk menggelorakan narasi kerukunan antar umat dan moderasi beragama,
Prof. Abdul Munir mengungkapkan bahwa pemahaman keagamaan yang terlalu
bipolar dan terobsesi pada simbol-simbol agama seringkali menjadi
penghalang utama.

“Sepanjang pemahaman keagamaan lebih berat pada model bipolar
(hitam-putih; Darussalam dan darul kufr) atau skripturalis yang
terobsesi pada simbol-simbol, moderasi beragama hanyalah sekedar
sebuah program atau proyek yang bisa jebol oleh sikap dan perilaku
radikal,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam terhadap tujuan
hakiki ajaran agama, termasuk evolusi makna dari Hifzu Al-Din
(memelihara agama) yang kini dimaknai sebagai menjamin kebebasan
berkeyakinan. Dalam pandangannya, tujuan dakwah dan pendidikan Islam
bukanlah konversi keagamaan.

Prof. Abdul Munir menjelaskan, persiapan manusia untuk memenuhi syarat
memperoleh hidayah iman dari Tuhan, serta mengembangkan manusia yang
profesional, bertanggung jawab, dan berintegritas dalam kerja serta
peduli pada sesama tanpa memandang batasan agama.

Dirinya berujar, integrasi antara aspek sosial, keagamaan, kearifan
lokal, dan hukum adalah kunci dalam menciptakan kerukunan yang kuat
sebagai pilar kekuatan bangsa. Juga pendekatan yang sinergis dan
komprehensif diperlukan untuk menangkal radikalisme dan terorisme.

“Sosialisasi regulasi, pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama,
dan penghargaan terhadap kearifan lokal adalah beberapa langkah
penting yang harus terus dikembangkan. Dengan demikian, Indonesia
dapat terus menjaga kedamaian dan persatuan di tengah-tengah
keberagaman yang ada,” pungkasnya.