Masyarakat Sultra Diajak Lawan Intoleransi, Radikalisme, dan TerorismeJelang Pilkada 2024

Kendari – Seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) diajak untuk
bersama-sama melawan intoleransi, radikalisme, terorisme, melakukan
stop hoax, dan stop isu sara pada penanganan kasus konflik pemilihan
kepala daerah (Pilkada) 2024. Pasalnya, provinsi yang dijuluki Bumi
Anoa ini memiliki masyarakat yang multi kultur dengan berbagai ragam
suku, budaya, bahasa agama, profesi, serta memiliki sumber daya
manusia yang baik dan sember daya alam yang banyak.

Hal itu disampaikan Sekda Provinsi Sultra, Asrun Lio, di Kendari, Rabu
(31/7/2024). Menurut Sekda, penanganan kasus konflik di daerah
merupakan kegiatan yang wajib di laksanakan oleh gubernur, bupati, dan
walikota karena merupakan amanah dan perintah undang-undang (UU) Nomor
7 Tahun 2012.

“Yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun
2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 tahun 2012 tentang
penanganan konflik sosial, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42
Tahun 2015 tentang pelaksanaan koordinasi penanganan konflik
Nasional,” katanya.

Menurutnya, UU dan peraturan tersebut lahir sebagai upaya penciptaan
situasi aman, tentram, damai dan sejahtera. Sekaligus menjadi jawaban
komprehensif atas kebutuhan hukum dalam penanganan konflik sosial,
dalam rangka menjamin terciptanya kondisi sosial, hukum, dan keamanan
dalam negeri yang kondusif guna untuk mendukung kelancaran pembangunan
nasional dan daerah.

“Adapun yang menjadi atensi kita akhir-akhir ini potensi konflik dalam
konteks pilkada. Tentunya pemerintah daerah dalam hal ini tim terpadu
penanganan konflik sosial memiliki peran strategis dan diminta aktif
dalam setiap tahapan pilkada yang berlangsung berhadapan dengan
masyarakat,” kata Asrun .

Dia melanjutkan, tim terpadu juga perlu mengoptimalkan peran sinergi
dan koordinasi untuk mencegah potensi konflik sosial, terlebih gesekan
antar pendukung calon yang jika tidak ditangani sejak dini, maka
berpotensi dapat berdampak luas.

Dalam Pilkada serentak ini, ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan
keterbelahan atau polarisasi politik, antara lain sikap tidak
menghargai pilihan atau intoleransi, berita hoaks atau bohong. Politik
pecah ada juga fanatisme politik, buzzer di media sosial, isu sara
serta meningkatnya angka peristiwa konflik di daerah. Hal ini perlu di
antisipasi dengan ketat.

Menurut dia, potensi kerawanan pilkada serentak dapat mengarah pada
konflik sosial dan itu perlu ditangani, agar pilkada serentak 2024
dapat berlangsung sesuai asas langsung umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil, juga terbangun suasana keharmonisan dalam kehidupan
masyarakat.

“Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum Tahun 2023, terdapat 281 peristiwa konflik sosial, sementara di
tahun 2024 periode Januari hingga Maret terdapat 83 peristiwa konflik
serupa,” katanya.

Ia menambahkan, hal tersebut menunjukkan bahwa konflik sosial masih
menjadi masalah yang signifikan dan memerlukan perhatian serius.
Adapun isu tentang politik, sosial, dan budaya menjadi konflik paling
dominan.

Menurutnya, hal ini penting bahawa konflik sosial menjadi isu yang
sangat urgensi untuk itu mari bersama-sama kita lakukan penanganan
secara komprehensif, terkoordinasi, dan tepat sasaran. Dengan langkah
langkah pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca
konflik melalui rencana aksi terpadu penanganan konflik sosial.

“Kemudian, kami juga mengajak semua pihak agar melawan intoleransi,
radikalisme, terorisme, stop hoax stop isu sara, dan ajakan tersebut
agar diteruskan kepada forum-forum mitra pemerintah, kemudian
diteruskan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat
lainnya demi terciptanya situasi aman dan kondusif dalam wilayah
negara kesatuan publik Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara,”
tutupnya.