Bandung – Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas
Islam), Kemenag, Prof Kamaruddin Amin, memperkenalkan moderasi
beragama kepada pemerintah Austria. Hal ini dilakukan dalam forum
Indonesia-Austria Interfaith and Intercultural Dialogue (IIAID) ke-8
yang dihelat Kementerian Luar Negeri di Bandung, Senin (8/7/2024).
Kamaruddin mengungkapkan, lewat moderasi beragama, konstitusi
Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap warga negara. Pemerintah,
imbuhnya, berkomitmen untuk memastikan setiap warga negara menikmati
hak dan tanggung jawab yang sama tanpa diskriminasi.
“Saya dapat mengemukakan beberapa hadis untuk membenarkan atau membuat
argumen bahwa Islam tidak hanya mendukung, namun juga mewajibkan kita
untuk memiliki komitmen terhadap konstitusi nasional. Jadi, Islam,
misalnya, di mana pun dipraktikkan, diterapkan, dan diartikulasikan,
harus mematuhi konstitusi,” papar Kamaruddin.
Kamaruddin menjelaskan, pemerintah Indonesia menyediakan fasilitas dan
bantuan kepada semua pemeluk agama tanpa mencampuri urusan internal
agama. Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan komitmen pemerintah untuk
mendukung kehidupan beragama yang harmonis dan inklusif.
“Kita punya Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen, Islam,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pemerintah memberi fasilitas
bantuan kepada mereka dan kita tidak ikut campur. Kami memberi hak
kepada semua agama untuk mengamalkan, menerapkan, menafsirkan,
mengartikulasikan keyakinan dan agamanya masing-masing, mendorong
inisiasi dan inovasi komunitas, serta mengembangkan kehidupan
beragama,” ucap Kamaruddin.
Kamaruddin menjelaskan, moderasi beragama adalah sikap toleran dan
menghargai keberagaman sebagai bagian dari ajaran agama. Moderasi
beragama diwujudkan melalui komitmen terhadap konstitusi dan
penghormatan terhadap tradisi lokal.
Moderasi beragama juga menekankan non-kekerasan dalam penerapan
kehidupan beragama. Ia menambahkan, tradisi lokal menjadi salah satu
sumber hukum yang penting, sehingga perlu ada dialog untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan tradisi agar tidak terjadi
ketegangan.
“Tidak ada kekerasan yang ditoleransi dalam perspektif agama dan
tradisi. Maka, sangat penting dilakukan dialog untuk menyesuaikan
ajaran Islam dan tradisi agar tidak terjadi ketegangan antara tradisi
dan ajaran agama,” ungkap Kamaruddin.
IAIID ke-8 dihadiri oleh lebih dari 60 peserta dari kalangan
pemerintah, pemuka agama, pakar, dan akademisi dari Indonesia dan
Austria. Kegiatan tersebut menghadirkan tiga panel diskusi yang
menyoroti pentingnya strategi dan pendekatan efektif semua pihak dalam
menghadapi tantangan di era modern, yaitu globalisasi dan
digitalisasi; upaya mengembalikan esensi budaya toleransi; dan
penguatan komitmen bersama merawat perdamaian.(RF)