Era Digital Menjadi Peluang Besar Memperkuat Toleransi Antar Umat Beragama

Jember – Univeristas Jember menggelar workshop bertajuk “Peran
Nilai-Nilai Pancasila dalam Meningkatkan Toleransi Beragama pada Era
Digital”, yang di selenggarakan Aula Lantai 3 Gedung Rektorat
Universitas Jember, Kamis (20/06/2024) pekan lalu. Kegiatan ini
bertujuan untuk meningkatkan toleransi beragama pada era digital saat
ini dan bagian dari “Semarak Bulan Pancasila”.

Wakil Ketua Panitia Semarak Bulan Pancasila Universitas Jember, Dr.
Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. dalam sambutannya mengatakan, secara
umum di era digital banyak memberikan kemudahan dalam berkomunikasi
dan berbagi informasi, hal ini menurutnya menjadi peluang besar untuk
memperkuat toleransi antar umat beragama.

“Namun era ini juga membawa tantangan yang signifikan seperti isu
intoleransi, ujaran kebencian, dan hal negative lainnya di media
sosial, oleh karena itu melalui worshop ini kita akan membahas
bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat dijadikan landasan untuk tetap
dan terus menjaga serta mempromosikan toleransi dalam masyarakat,”
katanya.

Sementara itu, Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H, Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Jember dalam samputannya pula
mengungkapkan, ada lima isu trategis yang akan beririsan dengan tema
kegiatan ini, yaitu, 1. melemahnya pemahaman wawasan Pancasila 2.
Menguatnya Eksklusivisme Sosial; 3. Terjadinya Kesenjangan sosial yang
semakin menajam; 4. lemahnya pelembagaan Pancasila; dan 5. lemahnya
keteladanan dan perilaku baik di ruang publik.

“Pada isu pertama tentang lemahnya pemahaman wawasan Pancasila ini
berkaitan dengan Wawasan kesejarahan, wawasan konseptual, wawasan
Yuridis, Wawasan Visional dan Wawasan Implementatif. Pada isu kedua,
hal ini ditandai dengan menguatnya “keakuan” atas suku, atas agama,
atas ras, atas asal usul dan seolah-olah identitas-identitas kesukuan
itu menjadi komoditas yang menarik trutama dalam konteks perpolitikan
kita di akhir-akhir ini,” ungkapnya kala membuka acara Workshop itu.

Ia menambahkan, ada juga beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran
bersama, menguatnya sifat indogralistik yang menjadi ancaman yang
serius terhadap budaya kewargaan ini, Berkembangnya paham pondalisme
pasar, Menguatnya pondalisme agama, sehingga lahirlah aliran-aliran
ekstrem, dan Melemahnya Gotong Royong.

“Saya berharap, dengan workshop ini bisa menjadi wacana yang bisa kita
kembangkan sebagai penguatan pemahaman kita terhadap nilai-nilai
Pancasila,” tutupnya.

Wakil Ketua MUI Jawa Timur Prof. Dr. H. Abdul Halim, mengemukakan,
nilai – nilai Pancasila tidak dikeembangkan lagi di dunia pendidikan,
secara perspektif agama, karena Islam itu ciptaan Tuhan dan Pancasila
ciptaan manusia.

“Ciptaan Tuhan ini ranah yang kita tidak diberi peluang untuk
didiskusikan. Misal kewajiban sholat, ranah ijtihad paling banyak
tentang hubungan orang satu dan yang lain. Terkait bagaimana mengatur
hubungan mengatur manusia dan manusia lain, yang bisa didiskusikan.
ranah tatbudi dan tadakhul. Ta’atbud, tidak bisa didiskusikan, sangat
dibuka ruang untuk ijtihad,” paparnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, Pancasila masuk pada ranah ijtihad,
pancasila adalah pemikiran yang luar biasa, setiap orang diberi ruang
untuk ijtihad, perbedaaan yang saling melengkapi, karena rangkaian
konferensi satu tujuan yaitu itu ijtihad jama’i, diterima secara
kolektif.

“Banyak di kalangan pemikir sekarang,yang seharusnya taat budi
dikritisi sedangkan tadakhul diterima, yang anti Islam hanya kelompok
kecil, biasanya mereka belajar Islam tidak sistematis dan tidak
tuntas, oleh karena itu yang diputuskan NU tahun 1983 memberikan
Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.pancasila menjadi
satu-satunya pilihan dan Pancasila sebagai perjanjian dan kesaksian
Bersama, katanya.

Ia menambahkan, Islam Moderat, ternyata dalam arus besar Nahdlatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis ulama sudah teruji. selama tiga
organisasi eksis ada kemungkinan Pancasila akan tetap pada marwahnya.

“Islam Wasathi, adalah kelompok yang muda. islam moderat, terkait
persoalan jihad, dalam perspektif orang intolerant,kita membunuh siapa
yang fahamnya tidak sesuai. tetapi 6 perspektif MUI yaitu, orang
mencari ilmu, berbakti kepada orang tua, puasa Ramadhan, haji dan jika
umat dalam keadaan tersudut,” imbuhnya.

Ketua Dewan Pers RI, Dr. Ninik Rahayu, S.H, M.S. kala menyampaikan materinya.

Pemateri kedua, Ketua Dewan Pers RI, Dr. Ninik Rahayu, S.H, M.S.
menyampaikan tentang Literasi Digital Dalam Memahami Implementasi
Nilai-nilai Pancasila, sekarang ini banyak media online dan media
sosial, media online dinaungi oleh kode etik jurnalistik, media sosial
tidak punya kode etik.karena belum punya etika, dewan pers menyiapkan
etika jurnalistik menggunakan media sosial.

“Maka perlu dewan media sosial dan apa dasar kebijakannya. kita
bersyukur di awal 2024 bapak presiden mengesahkan dukungan media
platform pada media berkualitas, salah satunya tidak memfasilitasi
perusahaan media yang tidak sesuai Pancasila,” ulasnya.

Ia berharap ini menjadi satu hal penting, berbagai media platform
seperti kecerdasan buatan yang dikenala artificial intelligence (AI).
keterampilan digital dalam jurnalistik bukan hanya mendistribusikan
informasinya, harus memikirkan impact terhadap informasi yang
didistribusikan.

Pemateri ketiga disampaikan oleh Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H.,
LL.M. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang
berkeinginan merefleksikan, latah teknologi mengakibatkan masyarakat
tidak mature terhadap teknologi. masyarakat lebih kagum pada
perangkatnya dari pada mengoperasikannya.

“Harapan saya ada konvergensi kelembagaan, amanat konstitusi melawan
Imperialisme, untungnya ada Fatwa MUI tentang kearifan, seharusnya
setiap umat Islam membacanya. ICCPR jelas secara internasional, saat
hidup menjalankan kebebasan, sepantasnya menjalankan kewajiban dan
tanggung jawab kita. ini adalah moral,” katanya.

Lali ia menjelaskan, Ideologi adalah yang mempertahankan unsur
pertahanan, bangsa ini harus merasa bahwa yang ia punya adalah
kemajuan bangsanya, yang tidak tertulis di buku seringkali tidak
terlaksana. Indonesia seringkali ditindas teknologi, oleh karena itu
perlu ada perlawanan.

“Saya miris mendengar kebijakan bahwa ilmuwan diserap pasar. kita
tutup gaya hidup terjajah, kita sengaja diadu untuk disetting agar
menciptakan perpecahan,” jelasnya.

Pemateri keempat diisi oleh Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. Akademisi
Fakulttas Ilmu Budaya Universitas Jember, ia menjelaskan tentang
Pancasila dan Multikulturalisme di Era Digital, ia mengkomparasikan
pemerataan di bidang ekonomi dan pemeratan martabat orang atau
kelompok sosial.

“Saya coba tarik ke belakang, membaca pancasila kurang lengkap bila
tidak melihat konsep historis dan fase historis bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang hebat, sebelum era kolonialisme dan imperialisme
menjadikan kita bangsa meniru dan tidak memiliki harga diri, saya kira
benar bahwa kita bangsa yang hebat, misal candi Borobudur,” paparnya.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan, kolonialisme dan imperialisme yang
menenggelamkan semuanya dan jadi bangsa yang terjajah, konteks ini
yang membangkitkan imajinasi rakyat jajahan sehingga muncul ratu adil.
Lalu Soekarno membaca peta sabang sampai merauke bukan hanya ilmu
bumi, namun sebagai ilmu politik, kesatuan nasional itu berawal.
disana kesatuan kenegaraan dan kesatuan ideologi berawal. Maka jelas
sekali ada satu tujuan Indonesia dikontekskan, pada pembukan UUD 45.
bahkan ia (soekarno) meremas, melindungi ketertiban dunia. itu adalah
prinsip pokok republik Indonesia.

“Saya menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, dalam pengertian ini
sesungguhnya adalah paradigma untuk melahirkan kebijakan- kebijakan.
sehingga seluruh kebijakan negara, mesti mengalir terhadap Pancasila,
pancasila sebagai ideologi kritik dalam mengevaluasi kebijakan dan
peraturan perundang – undangan. sah adanya menurut saya kita
mengkritik kebijakan menghasilkan keadilan sosial atau sebaliknya.
dalam konteks itu fungsi integrasi pancasila pada saat keadilan sosial
tidak terpenuhi,” jelasnya.

Lalu ia menambahkan, Pancasila mempunyai sisi integratif,
keanekaragaman, pluralisme di Indonesia ternyata sudah dimiliki
mekanisme kultur untuk integrasinya. maka sesungguhnya yang lebih
penting adalah bagaimana masyarakat memiliki resolusi dan reintegrasi
sesuai dengan ucapan sukarno “Pancasila kita gali dari bumi
nusantara”.

“Ekonomi digital, sosial budaya dan politik memiliki relasi sosial.
maka itu saling terkait. kita dihadapkan pada informasi yang melimpah,
melalui media digital sebenarnya kita dihadapkan imperialisme baru.
karena tidak ada keteladanan para elit. kita berhadapan pada keadaan
yang luar bisa, multikulturalisme bisa kita hargai dan beri kan
martabat sehingga cita – cita kemerdekaan bisa tercapai,” tandasnya.