Jakarta – Meskipun lebaran Idulfitri telah usai, semangat persaudaraan dan kerukunan yang didapat setelah merayakannya masih terasa. Ketupat, makanan yang identik dengan hari raya ini ternyata menyimpan makna filosofis tentang semangat persatuan dan kesatuan Indonesia. Artinya tradisi kearifan lokal mampu mendorong moderasi beragama dengan mengedepankan toleransi.
Membahas relevansi budaya dan tradisi kearifan lokal dengan persaudaraan sesama manusia, Ketua FKPT Jawa Barat, Dr. H. R. Iip Hidajat, M.Pd., menjelaskan bahwa kata “ketupat” memiliki banyak arti yang mendalam.
“Ketupat berasal dari kata ‘kupat’ dan memiliki arti ganda yakni ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Empat tindakan yang dimaksudkan antara lain: luberan (melimpahi), leburan (melebur dosa), lebaran (pintu ampunan terbuka lebar) dan laburan (menyucikan diri),” terang Iip di Bandung, Senin (22/4/2024).
Menurut Iip, ketupat pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Selain itu, ketupat juga telah membudaya sebagai sarana penyambung tali silaturahmi dan persaudaraan. Maka dari itu, sangat erat kaitannya antara ketupat dengan anjuran silaturahmi dalam Islam.
Iip Hidajat yang sebagai akademisi dan pemerhati isu toleransi antar golongan juga menggarisbawahi proses akulturasi budaya ketupat dengan ajaran Islam di Indonesia. Dia mengatakan, produk dari akulturasi tersebut memiliki pengaruh positif pada kerukunan masyarakat Indonesia.
“Terlebih lagi, bahwa di Indonesia, ketika suatu agama merayakan hari besar keagamaannya maka seluruh unsur masyarakat turut merasakan kebahagiaan dan keberkahannya,” imbuhnya.
Mengingat beragamnya hari besar keagamaan yang ada di Indonesia, Iip berujar jika masing-masing wilayah di Indonesia punya ciri khas dalam menyemarakkan perayaannya. Misalnya saja, Di Kuningan, Jawa Barat, ada Upacara Tahunan Keagamaan dari Agama Kepercayaan yang dikenal dengan istilah Seren Taun.
Upacara Seren Taun ini adalah bentuk syukur masyarakat setempat atas segala macam keberkahan yang berlangsung selama setahun penuh, terutama pada sektor pertanian yang dihitung berdasarkan kalender dari kebudayaan Sunda.
“Dalam pelaksanaannya, Upacara Seren Taun sudah menjadi agenda tahunan dan daya tarik pada aspek kebudayaan dan kepercayaan bagi para wisatawan yang mengunjungi wilayah Kuningan, Jawa Barat,” ujar Iip Hidayat.
Menurutnya, dari upacara ini dapat terpancar bahwa tradisi lokal mampu mendorong modernisasi beragama dengan mengedepankan rasa toleransi, melalui perwujudan syukur kepada Sang Pencipta. Rasa syukur atas segala keberkahan dan rezeki yang diterima, serta kenyamanan dalam hidup berdampingan dan kedamaian, adalah maksud yang ingin dicapai dari Upacara Seren Taun.
“Kita juga perlu melihat fenomena sosial yang ada, melalui Upacara Seren Taun yang dilaksanakan secara rutin, menandakan adanya penerimaan dan toleransi yang tinggi pada wilayah Kuningan (Paseban), Jawa Barat, kendati tidak semua masyarakatnya menganut agama kepercayaan,” ungkap Iip.
Dia pun berpendapat, walaupun di banyak wilayah Indonesia belum tentu ada budaya atau kearifan lokal yang khusus yang dilakukan saat Idul Fitri dalam rangka membendung intoleransi dan radikalisme.
Namun, budaya yang umum dilaksanakan seperti memberikan parsel atau bingkisan lebaran, serta mengundang masyarakat untuk berkunjung, atau dikenal dengan istilah open house di saat Idulfitri, menjadi salah satu kebiasaan yang dapat memupuk rasa kebersamaan dan deradikalisasi di masyarakat.
Iip Hidajat berangan-angan agar perayaan Idulfitri yang dipadukan dengan budaya lokal sesuai dengan daerah masing-masing, dapat meningkatkan semangat toleransi antar golongan masyarakat.
“Perayaan Idulfitri dimanapun tempatnya, dan bagaimanapun tradisinya, selayaknya menjunjung tinggi kebersamaan dalam hal kebaikan dan muhasabah diri. Kesemuanya diniatkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik sesuai perintah agama, serta selalu menjalin silaturahmi antar sesama manusia. Dengan begitu, semangat toleransi akan tetap terjaga,” pungkas Iip.