Jakarta – Maraknya kekerasan dan radikalisme di penjuru dunia menyisakan residu yang bernama Islamofobia. Hadirnya bulan Ramadan merupakan momentum untuk menggugah semangat toleransi dan perdamaian.
Menyoroti keutamaan ibadah puasa Ramadan, Mantan Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Dr. Abdul Jamil Wahab, mengajak umat Islam untuk menghayati intisari puasa Ramadan. Puasa tidak hanya sebagai ritual ibadah, tetapi juga sebagai alat untuk mengatasi berbagai konflik dan mengurangi polarisasi antaragama.
“Seperti yang bisa kita lihat di berbagai pemberitaan, bulan Ramadan ternyata tidak hanya dirayakan oleh umat Islam yang berpuasa, namun juga banyak non-muslim yang membagikan makanan untuk berbuka puasa,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (21/3/2024).
Menurut Dr. Abdul Jamil, hal ini ia anggap sebagai suatu kehebatan bulan Ramadan. Datangnya kewajiban puasa Ramadan bagi mereka yang muslim nampaknya juga menjadi berkah bagi semua golongan karena bisa menjadi penghubung antar golongan.
Selain dengan yang berbeda keimanan, puasa Ramadan juga seringkali menambah intensitas interaksi antar masyarakat dalam hidup bertetangga. Hal ini biasanya terlihat ketika mengadakan buka puasa bersama, atau saling memberikan makanan untuk disantap ketika adzan maghrib berkumandang.
Tidak hanya perkara kerukunan dan kebersamaan, Dr. Abdul Jamil juga berpendapat bahwa puasa Ramadan dapat menurunkan tensi islamofobia yang diakibatkan oleh kelompok radikal, yang hingga kini umat Islam sedunia masih menanggung efek negatifnya. Walaupun demikian, akademisi pemerhati isu keagamaan ini menyadari perlunya penanganan islamofobia secara holistik.
“Pertama-tama, dari pihak Muslim sendiri, penting untuk menghindari tindakan atau sikap yang dapat memberikan alasan bagi pihak lain untuk menilai negatif terhadap Islam. Contoh nyatanya adalah serangan 11 September 2001 yang hingga kini dianggap sebagai salah satu serangan terorisme terburuk yang pernah ada, menyebabkan masyarakat Barat menilai negatif terhadap Islam,” terang Dr. Abdul Jamil.
“Kedua, dari pihak Barat, diperlukan pemahaman yang lebih objektif terhadap Islam dan masyarakat Muslim. Ketidaktahuan akan karakteristik dan ajaran Islam sering kali menjadi penyebab dari Islamofobia,” imbuhnya.
Dr. Abdul Jamil berharap meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan menerapkan toleransi secara menyeluruh. Beliau menegaskan bahwa seluruh ajaran agama yang diakui di Indonesia, termasuk Islam, mengandung nilai-nilai perdamaian, kerukunan, dan harmoni.
Ia mencontohkan dengan menerangkan bahwa praktik zakat fitrah tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga untuk mereka yang membutuhkan tanpa memandang agama. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk membangun hubungan yang harmonis antar umat beragama.
“Dalam ajaran Islam itu juga sebenarnya banyak nilai-nilai yang mengajarkan kepada kedamaian dan kerukunan untuk hidup dengan harmonis. Salah satunya, di bulan Ramadan itu ada kewajiban zakat fitrah. Saya seringkali sampaikan bahwa zakat fitrah itu jangan hanya untuk kelompok Muslim, namun juga harus dibagi pada mereka yang non-muslim jika membutuhkan,” tambah Dr. Abdul Jamil.
Keharmonisan hidup bermasyarakat juga dapat dicapai jika masyarakat menerima exposure yang cukup terhadap pemahaman nilai-nilai keagamaan secara lebih luas. Hal ini tentu tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama Islam saja, agar kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dapat dicapai.
Dr. Abdul Jamil beranggapan, jika saja masyarakat telah matang dalam memandang perbedaan, maka Indonesia dengan kemajemukannya dapat merespons kebutuhan sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama.
“Dalam hal ini, Indonesia memiliki keunggulan karena sejak awal republik ini berdiri, kita berada dalam keadaan yang sudah pluralistik. Kualitas pemahaman pluralisme dalam masyarakat Indonesia harus terus ditingkatkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan inklusif,” jelasnya.
Dr. Abdul Jamil berharap agar bulan Ramadan tidak hanya dipandang sebagai momen untuk beribadah, tetapi juga sebagai kesempatan untuk menguatkan kerja sama antarumat beragama dan merespons tantangan radikalisme serta islamofobia.
“Tantangan umat Islam dengan adanya fenomena Islamofobia harus disikapi secara lebih bijaksana dan toleran. Tidak hanya kita mengharapkan untuk dimengerti oleh pihak lain, namun kita juga harus bisa menyediakan ruang yang sehat bagi semua golongan. Semoga upaya-upaya ini dapat terus dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan damai di Indonesia dan di seluruh dunia,” pungkasnya.