MK Gelar Sidang Perdana Uji Materiil Pasal 43L UU Nomor 5 Tahun 2018 Terkait Aturan Bantuan Korban Terorisme

MK Gelar Sidang Perdana Uji Materiil Pasal 43L UU Nomor 5 Tahun 2018 Terkait Aturan Bantuan Korban Terorisme

Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana atas uji
materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang (UU Terorisme). Sidang itu berlangsung di Gedung MK
Jakarta, Selasa (19/9/2023).

Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II),
dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) menilai Pasal 43L ayat (4) UU
Terorisme menyatakan, “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal
Undang-Undang ini mulai berlaku” bertentangan dengan UUD 1945.

Wahyu Wagiman, Ronald M. Siahaan, Muhammad Irwan, dan Judianto
Simanjuntak selaku kuasa hukum dari para Pemohon menilai pasal
tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang
merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya
terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan
kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan
permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat
penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak
tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018.
Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan
belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan
hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini,
berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk
menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di
seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan
kompensasi kepada negara.

“Para Pemohon tidak memilik akses dan kekuatan yang cukup untuk
mendapatkan bantuan dari Pemerintah karena ketentuan pasal a quo
sangat membatasi hak-hak para Pemohon dan sampai saat ini para Pemohon
belum mendapatkan kompesnasi dari Pemerintah. Para Pemohon sudah
berkomuniasi dengan lembaga terkait untuk mendapatkan bantuan, tetapi
ketentuan ini ternyata tidak membeberikan peluang lain bagi para
Pemohon untuk mendapatkakn kompensasi dari Pemerintah,” jelas Wahyu
dihadapan Majelis Panel Hakim, yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat,
Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.

Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan
kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan
jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada
2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan
jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan
LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana
terorisme mendapatkan hak-haknya.

Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang
sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal
ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada
semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara.
Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam
rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu
pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak
pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya
perlindungan hukum bagi korban.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan
ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihat hakim menyebutkan terkait
kedudukan hukum perlu dijelaskan peristiwa konkret yang dialami para
Pemohon dengan pasla yang diujikan. Mengingat pada pasal tersebut
memberikan batasan waktu, sehingga perlu narasi yang kuat atas hak
konstitusional yang dimiliki dirugikan. “Sebab, norma ini tahun berapa
dan peristiwa juga tahun berapa, kenapa baru sekarang diajukan. Maka
ini perlu dielaborasikan dan diuraikan pada permohonan ini,” jelas
Suhartoyo.

Sementara Hakim Konstitusi Enny yang mengamati bukti dari BNPT berupa
surat penetapan korban terorisme yang resmi meminta agar Pemohon untuk
mempertegas posisi Pemohon. Selain itu, Enny juga menyebutkan perlu
bagi para Pemohon untuk menguraikan dengan dengan asas, doktrin, dan
teori yang memuat pertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, Hakim
Konstitusi Arief menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk memperbaiki
sistematika dengan menghilangkan bagian pendahuluan yang dinilai tidak
perlu. Untuk itu, perlu memahami PMK 2/2021 yang digunakan dalam hukum
acara MK.

Pada akhir persidangan Arief menyebutkan para Pemohon diberikan waktu
selama 14 hari untuk memperbaik permohonan atas nasihat para hakim.
Untuk kemudian naskah perbaikan dapat diserahan selambat-lambatnya
Senin, 2 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.