Jakarta – Polemik gerakan NII (Negara Islam Indonesia) kembali menghiasi pemberitaan dari berbagai media. Kembali pula muncul nama pesantren Al-Zaytun yang diduga menjadi sentral NII dalam menjalankan operasinya.
Timbul desakan dari berbagai pihak agar NII turut dimasukkan ke dalam DTTOT (Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris). Hal ini bertujuan untuk memberikan payung hukum bagi aparat di lapangan untuk melakukan penindakan.
Islah Bahrawi yang merupakan Tenaga Ahli Direktorat Pencegahan Densus 88, menyampaikan bahwa sampai dengan saat ini NII belum masuk pada DTTOT. Menurutnya, telah banyaknya anggota NII yang ditangkap dan masuknya usulan dari banyak pihak perlu menjadi pertimbangan pemerintah agar secepatnya memperjelas status NII.
“Tahun ini saja sudah ada 35 orang yang mengaku sebagai anggota NII dan telah ditangkap di berbagai provinsi seperti di Sumbar, Banten, DKI Jakarta dan Bali. Ini menjadi penting sebenarnya, ada apa dengan pemerintah, kok sampai sekarang NII tidak dimasukkan ke dalam DTTOT? Padahal sudah banyak bukti-bukti penangkapan, dan juga jaringan mereka masih hidup sampai sekarang dengan berbagai metamorfosisnya,” tegas Islah di Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Pria yang akrab disapa dengan sebutan “Gus Islah” ini pun menambahkan, organisasi-organisasi yang juga masih dalam jubah yang sama dengan NII ini seharusnya bisa ditetapkan oleh pemerintah sebagai organisasi terror yang terlarang atau yang kita kenal dengan DTTOT.
“Yang harus kita ketahui, NII sendiri sebenarnya adalah embrio dari berbagai gerakan-gerakan ekstrim dan teror di Indonesia yang berhasrat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Kita tidak bisa pungkiri bahwa organisasi-organisasi teror yang ada di Indonesia hari ini, semuanya berawal dari rahim yang sama, yaitu dari NII versinya Kartosoewirjo. Gerakan NII kemudian bermetamorfosis dalam berbagai zamannya, sampai ke Ajengan Masduki, Adah Jaelani, dan juga kemudian memecah diri melalui kelompok Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang kemudian kita kenal sebagai Jamaah Islamiyah,” imbuh Gus Islah.
Ia berpesan agar aparat penegak hukum tidak terkecoh dengan segala pernyataan yang dikemukakan oleh Panji Gumilang. Perlu diteliti lebih lanjut tentang kegiatan apa saja yang Panji Gumilang buat ketika memimpin pesantren Al-Zaytun.
“Kalau saya pribadi begini, Panji Gumilang ini bisa saja dia mengaku Pancasilais, tapi sebenarnya dia itu masih melakukan proses konsolidasi setiap tanggal 1 Muharram di Al-Zaytun, yang mendatangkan ribuan orang dari luar Al-Zaytun untuk proses-proses konsolidasi,” jelasnya.
Aktivis yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia ini menambahkan, proses konsolidasi secara rutin di Al-Zaytun telah terbukti karena banyak pengakuan-pengakuan dari orang-orang terdekatnya Panji Gumilang. Pengakuan oleh Maulana dari Kalimantan Selatan, beberapa mantan pengajar dan alumni Al-Zaytun yang mengatakan bahwa banyak sekali orang-orang liar yang dimasukkan pada acara tahunan 1 Muharram yang sama sekali tidak terkait dengan Al-Zaytun.
Gus Islah menegaskan bahwa perlu memisahkan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan aktif dengan Panji Gumilang dan NII yang sampai hari ini masih melakukan konsolidasi dengan jaringannya di Indonesia. Al-Zaytun sendiri sebenarnya hanya dijadikan episentrum oleh Panji Gumilang dengan segala kepentingannya.
“Yang menarik adalah bahwa sebenarnya tidak ada kaitannya Al-Zaytun dengan NII sendiri. Memang Al-Zaytun ini dibentuk oleh seorang NII yang bernama Abu Toto alias Panji Gumilang alias Abu Maarik, banyak sekali namanya. Tapi kalau kita perhatikan memang sebenarnya Al-Zaytun sendiri ini adalah lembaga pendidikan pada zaman Orde Baru milik Panji Gumilang yang mantan NII ini setelah digalang oleh pemerintah ketika itu,” terang Gus Islah.
Dirinya menyebutkan, ketika Panji Gumilang berniat untuk mendirikan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan, pemerintah banyak sekali memberikan dukungan terhadap keinginan Panji Gumilang ini. Pada dasarnya, proses penggalangan terhadap Panji Gumilang ini sudah terjadi sejak akhir dekade tahun 90-an dan berlanjut ketika pada zaman Presiden Ibu Megawati. Waktu itu Kepala BIN adalah Pak Hendropriyono.
Terkait perbedaan fikih yang terjadi di Al-Zaytun, Gus Islah berpendapat bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah. Di dalam Islam sendiri sejarah-sejarah terbentuknya berbagai sekte, firqoh, ataupun ajaran yang berbeda itu memang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia juga antar organisasi saja bisa berbeda pandangan fikihnya.
Ia menambahkan bahwa fikih Muhammadiyah dan NU juga berbeda, ditambah dengan Al-Irsyad dan lain sebagainya. Ini adalah berbagai khilafiyah yang lazim terjadi. Perbedaan sejatinya akan terus ada dan ini tidak boleh dikekang.
“Yang harus kita hindari adalah pemahaman takfir atau mengkafirkan sesama yang cenderung menghegemoni dan melakukan klaim kebenaran atas nama diri dan kelompoknya, lalu memberikan stigma dan penghakiman “pasti salah” terhadap orang lain yang berbeda. Ini yang nggak boleh,” pungkas Gus Islah.