Kudus – Masyarakat diingatkan untuk bisa mengenali tetangga sekitar sebagai upaya deteksi dini mencegah munculnya kasus terorisme dan radikalisme. Untuk itu kepedulian lingkungan harus terus dilakukan untuk mencegah penyebaran paham-paham kekerasan tersebut.
Hal itu disampaikan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT Kolonel CZi Rahmad Suhendro saat menjadi pembicara dalam acara yang bertema Kenduri Desa Damai Kenali dan Peduli Lingkungan Sendiri Yang Melibatkan Masyarakat di aula Balai Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati, Kudus, Rabu (21/6).
“Jangan tinggalkan kewajiban pendatang untuk lapor RT/RW, harus dihidupkan kembali. Jika tidak kenal lingkungan, dengan mudah tersusupi paham yang mengajarkan perbedaan,” katanya.
Rahmad mengingatkan bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan melanggar hak asasi manusia. Pelaku terorisme dalam menjalankan aksinya, kata dia, mengatasnamakan agama, padahal ajaran agama yang dianut oleh masing-masing umat beragama tidak pernah mengajarkan untuk mengganggu masyarakat.
“Saat ini, radikalisme dan terorisme sudah masuk ke lini paling kecil, bahkan sudah masuk ke pelajar SD sehingga masyarakat harus mewaspadai,” ujarnya.
Kegiatan kenduri desa damai di Kudus ini, menurut dia, bertujuan untuk guyub rukun sebagai kepedulian antarsesama dan menguatkan interaksi sosial secara intensif. Dia berharap kegiatan itu menjadi bekal anak-anak dari desa ketika berada di kota tidak mudah terpapar radikalisme ataupun terorisme.
Rahmad menegaskan bahwa kearifan lokal masyarakat bisa menjadi salah satu upaya pencegahan terjadinya tindak terorisme termasuk upaya pencegahan penyebaran. Di antara kearifan yang bisa dipupuk agar tindak terorisme tidak kian meluas yakni dengan menggelorakan kepedulian antarsesama dan menguatkan interaksi sosial secara intens.
“Makanya saya ingin warga yang ada di desa jangan sampai berubah saat berada di kota. Di kota itu dengan sebelahan rumah tidak kenal. Ini lebih mudah jaringan terorisme masuk,” katanya.
Ia menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan melanggar hak asasi manusia. Dan kebanyakan yang terjadi atas aksi terorisme mengatasnamakan agama. Jelas hal itu tidak bisa dibenarkan.
Tidak ada ajaran agama yang menganjurkan untuk merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat. “Dan mereka mengaku paling benar dan baik dalam menjalankan agama,” kata dia.
Dengan mengaku paling benar dan baik dalam praktik beragama tersebut bisa memunculkan sikap intoleran dan radikal. Sikap itulah yang kemudian jika diteruskan akan berujung pada tindakan terorisme.
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah Prof. Dr. Syamsul Ma’arif Mag, engatakan, kearifan lokal yang saat ini sudah berlangsung di tengah masyarakat sudah selayaknya dijaga. Kearifan tersebut di antaranya hasil dari rekayasa sosial para penyebar agama masa lalu agar masyarakat tetap rukun tanpa ada yang merasa disakiti.
“Misalnya di Kudus itu tidak boleh menyembelih sapi, sebenarnya itu kan bagian dari rekayasa sosial agar umat yang menyucikan sapi tidak merasa tersinggung,” kata Syamsul.
Ajaran yang ada di tengah masyarakat berupa kearifan lokal tersebut sudah selayaknya direvitalisasi. Jangan sampai ajaran tersebut hilang. Dia menilai, kearifan lokal tersebut bisa menjadi tali pengikat atas ancaman segregasi sosial.