Palu – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tahun 2023 di Indonesia diharapkan dapat berdampak terbangunnya komitmen dan tekad yang kuat negara – negara ASEAN untuk mencegah radikalisme.
“KTT ASEAN menjadi momentum yang baik untuk membangun kerja sama dalam rangka melindungi masyarakat ASEAN dari bahaya penyebaran faham radikalisme dan terorisme,” kata Ketua FKPT Sulawesi Tengah, Dr. Muhd Nur Sangadji, di Palu, Minggu (11/6/2023).
KTT ASEAN ke-42 dilaksanakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 10-11 Mei 2023. Sementara KTT ASEAN ke-43 akan digelar di Jakarta pada 5-7 September 2023 mendatang.
Nur Sangadji mengemukakan radikalisme dan terorisme membuat perpecahan dan persatuan bangsa, yang sekaligus memberikan dampak terhadap terganggunya stabilitas ekonomi negara. Sehingga radikalisme dan terorisme tidak boleh dibiarkan untuk berkembang.
Menurutnya, ideologi transnasional menjadi satu ancaman nyata bagi keutuhan dan kesatuan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok penyebar ideologi transnasional, ujarnya, cenderung mengadu domba masyarakat dengan berbagai isu dengan tujuan untuk menciptakan pertikaian sehingga masyarakat terpecah belah.
Ia mengatakan dalam upaya pencegahan dan penindakan radikalisme dan terorisme dibutuhkan kerja sama multi pihak dan antar negara. Sebab, radikalisme dan terorisme memiliki jaringan lintas negara.
“Sehingga kebersamaan, kekompakan dan kesolidan menjadi kata kunci untuk mencegah radikalisme. Oleh karena itu, KTT ASEAN diharapkan terbangunnya kebersamaan dan kekompakan negara ASEAN dalam mencegah radikalisme,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh BNPT tahun 2022 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan dan generasi muda (gen Z dan milenial serta mereka yang aktif di internet dan media sosial. Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 10.2 persen, pada milenial 10.3 persen, pada Gen Z 10.4 persen, pada pencari konten keagamaan di internet sebanyak 9.8 persen dan yang aktif menyebar konten keagamaan sebanyak 10.7 persen.
“Maka kolaborasi multi pihak dan kerja sama antar negara untuk pencegahan radikalisme sangat penting dilakukan,” ungkapnya.