Idul Fitri adalah Back to The Ground, ini tiga Kualitas Taqwa peraih Idul Fitri

Bandung – Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia yang dirayakan setelah berakhirnya bulan suci Ramadan. Namun, di balik perayaannya yang meriah, Idul Fitri juga memiliki makna yang sangat dalam bagi umat Muslim, diingatkan tentang proses spiritual terlahir kembali menjadi insan fitri yang suci dan bebas dari kebencian, intoleransi dan ekstremisme.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag, menjelaskan, bahwa Idul Fitri sejatinya merupakan momen kemanusiaan untuk kembali menjadi manusia yang diharapkan oleh Allah SWT.
“Idul Fitri berarti kembali menyadari tugas seorang Mukmin untuk dunia kehidupan ini, bukan untuk kelompoknya, untuk seluruh alam. Sebagai pengelola, manusia mendapatkan tugas memakmurkan kehidupan dunia, memberikan rasa keadilan dan kasih sayang pada semua makhluk,” ujarnya di Bandung, Kamis (20/4/2023).
Oleh sebab itu, Prof Bambang yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat (Lakpesdam PWNU Jabar) ini menyebut, Idul Fitri adalah back to the ground. Menyadari kelemahan masing-masing diri dan menginsyafi kekuatan hidup bersama.
“Semua mengharapkan muncul pribadi yang memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu. Kemenangan itu ditandai dengan munculnya pribadi taqwa yang al-kazhiminal ghayza (orang-orang yang menahan amarahnya) wal ‘afina ‘aninnas (memaafkan (kesalahan) orang) dan pribadi yang berbuat ihsan (muhsinin) seperti dikemukakan Ali Imran: 134,” ucap pria yang akrab disapa Prof BeQi ini.
Tiga kualitas ini dibutuhkan oleh NKRI yang majemuk. Pertama, mampu menahan marah (al-kazhimianl ghaza), ini artinya pribadi yang beridul fithri adalah pribadi yang bisa memanaje emosinya, memiliki kecerdasan emosional sehingga tak setiap kemarahan, ketidakpuasan, dan kekecewaan harus diekspresikan dalam bentuk kemarahan yang destruktif. Sikap ekstrem muncul saat kemarahan dilampiaskan tanpa penyaring.
“Kedua yakni, memaafkan semua manusia (al-afina aninnas), ini berarti peraih idul fitri adalah orang tidak memelihara dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain lalu menjadikannya alasan untuk berbuat destruktif. Membersihkan hati dari kesalahan orang lain agar tak ada alasan lagi melakukan kekerasan,” ujarnya.
Ketiga yakni, Muhsinin (orang yang melakukan kebaikan). Peraih idul fitri adalah para Muhsinin yang terus berbuat baik pada semua pihak tanpa syarat apapun. Dirinya membanyangkan jika Negara ini dipenuhi orang Muhsinin, tentunya Negara ini akan luar biasa.
“Dengan tiga kualitas peraih Idul Fitri yang bisa mengelola emosi, tidak memelihara dendam kesumat, dan muhsinin pada semua manusia, tak ada alasan untuk tidak merasa bersaudara dan solidaritas pada pemeluk agama lain,” ujar pria yang juga merupakan Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) ini.
Prof. BeQi juga mengemukanan, Idul Fitri dapat menjadi momen yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan dan solidaritas antara umat Islam dengan masyarakat pemeluk agama lain. Sebagaimana Agama  dalam bahasa Arab artinya Ad-din atau ad-dayn. Dimana kata ad-Dayn itu sendiri artinya hutang.
“Orang beragama itu orang yang menyadari hutangnya pada Tuhan, pada alam semesta, dan pada sesama manusia. Selama bulan puasa mendukung pelaksanaan Puasa. Tanpa dukungan semua pihak, puasa terasa berat. Dari situ lahirlah sikap rendah hati, tidak sombong, penuh syukur, membalas jasa, dan menjaga kehidupan agar tetap nyaman,” jelasnya.
Untuk itu, guna mewujudkan Idul Fitri sebagai pengukuhan insan fitri yang suci dari intoleransi dan ekstremisme khusunya di tanah air Indonesia, maka Prof. BeQi berharap adanya dukungan berbagai pihak khusunya para pemimpin agama, tokoh, masyarakat dan pemerintah dalam mempromosikan toleransi dan perdamaian di masyarakat.
“Pemimpin agama itu harus sadar bahwa dirinya itu uswat hasanah, atau model karakter. Pemimpin agama harus menyadari posisinya ini, sehingga ia harus mengelola perkataan, perbuatannya, sekaligus diamnya agar tidak menjadi pemicu bagi perilaku agresif. Karena itu, pemuka agama dan aparat pemerintahan harus sadar diri, jaga ucapan, jaga sikap dan juga perilaku,” kata pria kelahiran Serang, 8 Desember 1973 ini.

Ketua Prodi Magister Religious Studies Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini juga meminta seluruh umat manusia untuk belajar tidak gampang tersulut kebencian lalu marah. Umat manusia diminta belajar untuk tidak mendendam ataupun tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai alasan untuk membenci, lalu ingatkanlah orang lain untuk melakukan hal yang sama.

“Belajarlah untuk menjadi muhsin, dan ajak semua orang untuk belajar menjadi Muhsinin. Selalu ingatlah, orang lain terus mengamati kita. Mereka akan menjadikan perilaku kita untuk menilai kebaikan dan keburukan ajaran Islam. Jadikan perilaku kita ini sebagai alasan orang-orang kagum pada ajaran Islam, bukan sebaliknya,” ujar Prof BeQi mengakhiri.