JAKARTA – Para pelaku aksi terorisme ini selama ini sering menjadikan ideologi dan pemahaman agama yang salah sebagai ‘senjata’ untuk menyebarkan paham mereka sekaligus merekrut anggota baru.
“Penguatan ideologi dan pemahaman agama serta deradikalisasi harus terus digalakkan untuk mencegah penyebaran paham kekerasan serta kemungkinan terjadinya aksi terorisme,” kata Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hamdi Muluk MSi di Jakarta, Rabu (9/9/2015).
“Kalau orang bicara ideologi dan agama itu memang dahsyat. Kalau orang yakin terhadap ideologi tersebut maka dia selalu ingin mewujudkan dan meyakinkan kepada para pengikutnya bahwa ideologi itu benar. Dan itu terus ditanamkan dibenak para pengikutnya sampai mereka benar-benar yakin dan menjalankan,” ujarnya
Dari situlah, lanjut Prof Hamdi, para pelaku aksi terorisme terus bergerilya untuk merekrut orang sebanyak-banyaknya untuk mewujudkannya apa yang diyakini benar seperti Negara Islam, Khilafah Islamiyah dan tidak ada lagi orang beragama lain atau kafir di sini. Hanya seperti itu yang dipikirkan mereka (pelaku terorisme), dalam mencari orang untuk direkrut dan didoktrin.
Selain ideologi dan agama, kata Prof Hamdi, deradikalisasi (penyadaran) juga harus terus ditingkatkan kepada para pelaku terorisme baik yang masih berada dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun yang berada di luar Lapas.
“Ini sangat penting karena bila dibiarkan, para pelaku teroris bisa menyebarkan ideologinya kepada para tahanan lain di dalam Lapas. Juga buat yang sudah bebas, bisa kembali menjalankan aksinya untuk merekrut anggota baru,” katanya. Prof Hamdi juga mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang terus berupaya mencegah terorisme
Sebelumnya, pada Program Workshop Damai Dunia Maya yang digelar BNPT di Medan, Selasa (8/9/2015), mantan teroris Khairul Ghazali yang dulu dikenal sebagai otak perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan penyerangan Polsek Hamparan Perak, mengajak para generasi muda untuk tidak sama sekali bersentuhan dengan terorisme. Menurutnya, apa yang ia lakukan di masa lalu (aksi terorisme) adalah tindakan nista karena menggunakan pemahaman keagamaan Islam untuk tindakan tak beradab.
Dia mengisahkan di masa aktif sebagai teroris ia menjadikan anak muda (usia belasan dan dua puluhan tahun) sebagai target utama rekrutmen. “Anak muda adalah target paling mudah untuk dilakukan doktrinisasi alias ‘cuci otak’. Mereka mudah diberi janji-janji manis berupa ‘paket masuk surga’ asal mau melakukan terorisme. Mereka mudah diberi janji seperti itu karena pemahaman keagamaan mereka yang miskin,” katanya.
Bukti bahwa para anak muda pelaku teror tak paham agama ia sampaikan berdasarkan fakta dimana kebanyakan para pelaku teror adalah seorang kriminal. Tidak sedikit orang-orang yang katanya berjihad atas nama agama itu, sebenarnya bukan orang yang taat beragama. Banyak dari mereka yang pemabuk atau penjudi.
Dalam melakukan ‘cuci otak’ tersebut, Khairul Ghazali mengaku menggunakan pendekatan agama. Ia menyelewengkan ayat-ayat suci untuk ia tafsirkan dengan gaya radikal dan aksi teror. Bagi para pelaku kriminal misalnya, ia menawarkan pencucian dosa dan surga asalkan mau bergabung dengan kelompok teroris. Merayu target dengan sentimen dan isu keagamaan itulah yang paling mujarab dalam merekrut anggota baru selama ia jadi teroris.
Sumber: news.okezone