Denpasar – Sejumlah mahasiswa studi agama-agama (religion studies) UIN Jakarta menggelar Sekolah Toleransi dengan menggandeng Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI di Gedung Universitas Hindu Negeri (UHN) Sugriwa, Denpasar, Bali Rabu (22/2/2023).
Sekolah Toleransi yang diinisiasi langsung oleh Pengurus Himpunan Mahasiswa Program (Studi) Studi Agama-Agama UIN Jakarta juga berhasil melaunching Sekolah Toleransi Se-Indonesia yang bertajuk “Pojok Toleransi”.
Menurut Ketua Pengurus HMPS SAA UIN Jakarta, Nor Mahmudi, Pojok Toleransi yang dideklarasikan akan berlangsung secara berkala di sejumlah daerah di Indonesia.
“Ini adalah langkah awal kita untuk terus menguatkan nilai-nilai toleransi di seluruh Indonesia,” ujar Mahmudi, dalam keterangannya, Kamis (23/2/2023), dikutip dari laman Republika.co.id.
Ketua BPIP RI, Prof Yudian Wahyudi, dalam sambutannya berharap spirit pemuda dapat menguatkan kembali nilai-nilai toleransi dan kepancasilaan dalam kehidupan beragama. Penguatan itu penting dalam rangka menyemai persatuan dan persaudaraan se Tanah Air.
“Saya berharap spirit pemuda saat ini dapat diarahkan untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila. Isu seputar toleransi, moderasi, dan persaudaraan sangat penting dalam kehidupan berbangsa,” kata Prof Yudian.
Dalam sosialisasi kepancasilaan itu, Prof Yudian menekankan renungan kembali tentang Pancasila, baik dari aspek kesejarahannya dan nilai keberadaban yang berusaha dibangun. Dari Pancasila, lahir kemerdekaan, kehidupan bernegara, dan persatuan berbangsa.
Menuru Prof Yudian, Indonesia lahir dari kemenangan bangsa untuk merdeka. “Mengapa dulu Belanda menguasai Indonesia, karena mereka menang. Mengapa Jepang menguasai Indonesia, karena mereka yang menang. Lalu mengapa kita merdeka sebagai bangsa, karena Pancasila pemenangnya,” ujarnya dengan berapi-api.
Secara terpisah, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menyampaikan apresiasi kepada Pengurus HMPS UIN Jakarta dan Pengurus BEM UHN Sugriwa yang telah memberikan wadah pembelajaran kebangsaan dalam kehidupan beragama.
“Ini bagian dari upaya mentransformasikan nilai-nilai toleransi dari tataran konseptual-ideal, ke tataran praksis dan implementasi,” kata dia.
Pada November 2022, berdasarkan laporan yang dia sampaikan, bangsa Indonesia menunjukkan kecenderungan hidup yang toleran kepada sesama.
Sebanyak 72,6 persen responden berpandangan masyarakat Indonesia menjunjung tinggi nilai toleransi, bahkan 10,4 persen di antaranya sangat toleran. Akan tetapi isu soal toleransi beragama, sekitar 47,6 persen responden masih mengungkapkan perlunya penguatan sikap tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan beragama.
Dalam temuan Setara Institute juga, pada periode 2022 masih dijumpai sejumlah kasus yang menciderai kehidupan beragama. Tercatat sebanyak 175 peristiwa dengan 333 tindakan yang melanggar kebebasan beragama dan 50 gangguan yang terhadap tempat ibadah.
“Gambaran tersebut menunjukkan bahwa nilai toleransi dalam beragama belum sepenuhnya mencerminkan gambaran ideal sebagaimana diamanaytkan oleh konstitusi,” ujarnya.
Hal itu jelas melanggar Pasal 28 E ayat (1) tentang kebebasan beragama, Pasal 28 I ayat (1) tentang hak-hak beragama sebagai hak asasi manusia, Pasal 29 ayat (2) tentang kemerdekaan beragama dan beribadat
“Ini perlu mawas diri serta mengubah paradigma dalam memaknai toleransi. Toleransi beragama tidak hanya bersifat retorika, namun rapuh dalam landasan fundamentalnya. Sikap toleransi harus memberikan dampak nyata dalam mewujudkan keharmonisan sosial,” ujar dia.
Acara yang mengusung tema “Interfaith Studies: Merawat Kebhinekaan, Menyemai Perdamaian” itu melibatkan sejumlah peserta dari berbagai agama di Indonesia, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Islam, dan Bahai. Mereka datang dari berbagai universitas yang tersebar di Indonesia.
Hadir dalam launching tersebut Kepala BPIP RI Prof Yudian Wahyudi, Rektor UHN Sugriwa Prof Gusti Ngurah Sudiana, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI Prof Suyitno dan Dosen Filsafat Hindu UHN Sugriwa Dr I Gede Suwantana.