Solo – Radikalisme dan terorisme tersebar masif melalui media sosial (medsos). Anak muda menjadi asaran utama penyebaran paham-paham kekerasan itu. Karena itu, perlu adanya edukasi berupa literasi digital penyebaran radikalisme dan terorisme.
“SMP [ke atas] itu sudah masuk generasi muda, ya. Mereka lebih banyak memegang handphone untuk berselancar di dunia maya. Nah ini yang kita khawatirkan di situ. Mereka bisa mengklik di media sosial. Saya cermati banyak dari teman-teman ini terpapar lewat media sosial,” ujar Pendiri Yayasan Gema Salam sekaligus eks narapidana terorisme, Joko Trihermanto, dikutip dari Solopos.com, Selasa (21/2/2023).
Dia membandingkan dengan generasi lalu, yang mendapatkan paham radikalisme secara langsung. Jack Harun, sapaan akrabnya, bercerita dulu generasinya dibina sejak kecil dan didoktrin untuk ikut kelompok tertentu.
“Teman-teman ini kan mendapat semangat [jihad yang salah] dari media sosial. Beda kalau dulu dengan doktrin secara langsung,” jelas dia.
Menurunya, salah satu yang perlu diwaspadai adalah pertemanan melalui media sosial dengan orang asing.
“Kemudian mereka mencoba mencari pertemanan [lewat media sosial], yang dalam artian mungkin dilihat dari profil itu seperti orang yang saleh. Makanya sering saya bilang hati-hati untuk mengklik pertemanan di media sosial,” kata dia.
Joko mengatakan melalui pertemanan di media sosial itu, beberapa orang terkecoh dengan tampilan yang terlihat baik. Menurut dia, pada mulanya hanya diberikan nasihat-nasihat baik, namun lambat laun bisa didoktrin melalui isu tertentu.
“Kan sering banyak kasus lewat pertemanan media sosial, kita kemudian didoktrin semakin jauh. Akhirnya apa yang dikatakan oleh orang yang ada di dalam media sosial itu kita mengikutinya. Kita sudah tercuci otaknya, kita sudah terdoktrin, kemudian apapun perintahnya kita akan mengikutinya. Dan ini memang rawan sekali di media sosial hari ini,” jelas dia.
Selain itu, dia menjelaskan kelompok radikal biasanya masuk melalui konten yang memprovokasi orang melalui isu yang sedang panas di media sosial.
“Misalnya dulu ada isu pilpres, kemudian ada isu ketidakadilan, ada kezaliman di mana gitu. Makanya mereka itu sering menggunakan berita-berita konflik. Kalau ada konflik mereka mesti masuk ke situ, mereka mesti menunggangi,” jelas dia.
Paham radikal yang tersebar di media sosial, menurut dia, pada akhirnya bertujuan menolak dan menyalahkan negara karena tidak sesuai syariat.
“Nanti ujung-ujungnya ya ini adalah kesalahan negara yang tidak berpihak ke umat Islam, yang tidak memberi ruang pada umat Islam, umat Islam selalu dikerdilkan, umat Islam selalu disalahkan,” imbuh dia.
Apalagi kini konten media sosial diatur oleh algoritma yang mengarahkan pengguna untuk mengonsumsi konten yang sesuai dengan yang disukai. “Kalau hari ini mengklik jihad, besok kita ya disodori jihad. Kalau temen-temen membuka kasus Bosnia atau membuka kasus Palestina besok mereka akan disodori dengan itu,” tutur dia.
Namun, dia menyarankan untuk tidak melawan algoritma media sosial. Baginya yang perlu dilakukan adalah memperbanyak konten-konten edukatif yang bisa melawan narasi radikalisme atau terorisme.
Mantan teroris bom Bali itu juga menambahkan perlunya literasi digital. “[Lewat] literasi digital, kita mengkampanyekan bahwa media sosial yang kita punya bisa juga untuk kebaikan,” kata dia.
Menurut dia, sejauh ini banyak dari kelompok-kelompok radikal dan terorisme menggunakan media sosial untuk kampanye. “Hari ini kita juga bisa melakukan itu dengan cara apa, ya kita membuat konten yang positif untuk meng-counter kampanye mereka,” pungkasnya.