Depok – Penanganan dan pencegahan terorisme salah satunya fenomena desistensi terorisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berusaha menangani fonomena ini dengan pendekatan Heaven, Home, dan Habit (3H).
Hal itu dikatakan analis pemasyarakatan dan pakar deradikalisasi BNPT, Ardi Putra Prasetya, usai dikukuhkan sebagai doktor termuda kriminologi Universitas Indonesia Kamis (24/11/2022). Ia mengatakan fenomena desistensi terorisme tidak hanya sebatas menjelaskan mantan pelaku teror dapat berhenti menjadi teroris atau kembali terlibat kelompok teroris.
“Terdapat faktor dan pengaruh lain yang mendukung timbulnya fenomena desistensi terorisme. Terdapat kemungkinan pembentukan tipologi desistensi dari terorisme, serta peramalannya yang dapat memberikan pandangan berbeda terkait penanganan dan pencegahan tindak pidana terorisme,” ujar Ardi dikutip dari IDN Times.
“Peramalan tersebut akan mencakup kondisi mantan pelaku teror atau disebut idling mode, lalu faktor pendorong yang menyebabkan mantan pelaku teror melakukan aksinya kembali,” imbuhnya.
Ardi mengaku sudah melakukan penelitian mendalam terhadap 35 mantan teroris dan Focus Group Disscussion (FGD) bersama 13 pakar intervensi pelaku teror. Hal itu dilakukan agar dapat menggambarkan bagaimana wujud tipologi desistensi terorisme.
Berdasarkan tipologi tersebut, kata dia, dapat terlihat faktor yang mendukung dan menghambat terjadinya desistensi terorisme, seperti catalyst event dan idling mode.
“Pada disertasi saya pun memaparkan teori desistensi dan karakteristik dari kejahatan terorisme,” kata Ardi.
Teori desistensi menekankan perlunya penjelasan mengenai keterlibatan hingga berhentinya individu dalam kejahatan terorisme. Kejahatan terorisme memiliki karakteristik yang cenderung langka, terselubung dan kolektif, sehingga berbeda dengan kejahatan biasa, kejahatan terorisme yang dapat menghasilkan konsekuensi serius, sehingga perlu memahami desistensi sebagai proses berkelanjutan.
“Contohnya fenomena desistensi melalui perkembangan kelompok teroris seperti ISIS yang telah mengakibatkan perpecahan ideologi radikal di Indonesia,” ujar Ardi.
Ia melanjutkan, para jihadis Indonesia merespons kemunculan ISIS dengan cara beragam, seperti membentuk kelompok baru, pergi ke Suriah dan Iraq untuk bergabung, atau menanggapinya secara skeptis, karena tidak relevan dengan perjuangan Negara Agama di Indonesia.
“Fenomena desistensi dari kemunculan ISIS dapat dilihat dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur didirikan Santoso, yang kurang diminati kelompok radikal di Indonesia,” ucap Ardi.
Ardi memaparkan, masalah tidak tercapainya tujuan program deradikalisasi yang berakibat munculnya kasus residivis terorisme di Indonesia, hal itu diperkuat dari temuan Polri menyatakan dua dari lima pelaku serangan terorisme di Sarinah 2016, merupakan residivis kasus terorisme yang bebas pada 2014.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lanjut Ardi, mencatat dari 825 mantan narapidana terorisme yang dibebaskan antara 2002 dan Mei 2020, sebanyak 94 orang di antaranya menjadi residivis teroris.
“Faktor munculnya residivis teroris disebabkan penyebaran paham radikal di penjara, hubungan dekat dengan anggota keluarga yang melakukan kontak dengan kelompok teroris, dan penerimaan konsep ideologi radikal yang kuat, memungkinkan tindakan fisik kolektif bersama kelompok teroris,” ujar Ardi.
Ardi telah melakukan penelitian tersebut menggunakan pendekatan 3H untuk mengembangkan kerangka konseptual terkait terorisme secara lebih spesifik. Elemen heaven dapat dijelaskan menggunakan hubungan antara head dan heart, elemen habit dijelaskan melalui elemen head dan hand, sedangkan home dapat ditemukan melalui elemen heart dan hand.
“Temuan ini didasarkan pada hasil focus group discussion yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan,” ucap Ardi.
Ardi menjelaskan, pada konteks heaven, penggunaan doktrin kekerasan berdasarkan ideologi agama dijadikan pembenaran bagi teroris, karena dianggap menjamin masuk surga. Doktrin ini menciptakan kader-kader militan yang siap menjadi brides of heaven, bagi para teroris kematian adalah sesuatu yang diinginkan karena dapat memberikan kebahagian di surga.
Dalam konteks home, Ardi menjelaskan, sebagai situasi yang dapat membantu mantan pelaku teror melepaskan diri atau terderadikalisasi. Akan tetapi, home dapat menjadi faktor pendorong residivisme pelaku teror.
“Contoh dari konteks home yaitu keluarga yang menjadi faktor penting dalam desistensi, karena berkaitan dengan hubungan pro-sosial dan menunjukkan kepedulian, serta empati kepada anggota keluarganya agar tidak lagi berinteraksi dengan kelompok radikal,” ujar dia.
Kemudian, Ardi mengatakan, konteks habit atau kebiasaan, pengaruh lingkungan, dan jaringan dapat memengaruhi perubahan mantan pelaku teror ke arah desistensi dari terorisme atau residivis. Apabila mantan pelaku teror sudah tidak terlibat dalam tindakan seperti nesting, financing, maupun communication terhadap kelompok teroris, terdapat kemungkinan menuju desistensi dari terorisme.
Kondisi sebaliknya dapat terjadi ketika para mantan pelaku teror masih terlibat dalam berbagai macam tindakan-tindakan di atas.
“Kelompok teroris menggunakan strategi propaganda untuk menyebarkan paham radikalnya kepada calon pengikut, hal ini membuktikan bahwa elemen head lebih awal dari hand,” kata Ardi.
Penyebaran paham radikal melalui propaganda kelompok teroris, menurut Ardi, semakin tidak dapat dihindari akibat perkembangan internet saat ini. Propaganda dari kelompok teroris mengakibatkan mantan teroris rentan kembali terlibat dalam tindakan radikal.
“Hal ini menunjukan para mantan teroris masih memiliki head yang kuat dengan radikalisme, terorisme, sehingga mereka tidak ragu untuk kembali ke dalam kelompok teroris,” pungkas Ardi. (