Jakarta – Modus-modus pendanaan kelompok teroris terus terus berkembang. Tiap kasus teror tak melulu menggunakan modus sama. Ada yang langsung didanai sampai berkedok yayasan sosial dan keagamaan.
“Pada kasus Bom Bali. Ketika itu, penyokong dana mengirimkan uang ke rekening keluarga pelaku teror. Ada juga yang langsung (ke pelaku teror) seperti kasus Hambali dan Muklas untuk pendanaan Bom Bali jilid satu, Bom Kedubes Filipina di mana pendanaan antar pelaku,” katanya di The Sultan Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (23/11).
Tito mengungkap, modus pendanaan sekarang ini justru yang berkembang via sumbangan ke yayasan sosial, kegiatan sosial. Namun, Tito mengatakan, tak semua yayasan sosial mendukung aktivitas terorisme.
“Tidak menutup kemungkinan (pendanaan teroris) menggunakan jalur-jalur seperti jalur sosial, kegiatan sosial, yayasan sosial. Saya tidak mengatakan semua, tapi yang kita temukan seperti itu,,” ujarnya.
Dia menjelaskan, yayasan dimaksud yakni yayasan sosial, yayasan keagamaan terafiliasi pada kelompok teroris tertentu.
“Itu dimanfaatkan oleh mereka sehingga terlihat seperti flow yang legal tapi digunakan untuk kegiatan terorisme,” terangnya.
Tito juga menyinggung, pelaku tindak kejahatan melakukan berbagai upaya untuk menyembunyikan dan menyamarkan hasil tindak pidana sehingga hasil tindak pidana seolah-olah sumber yang sah.
Dia menerangkan, pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lalu lintas batas negara atau cross border baik dan ke dalam maupun keluar wilayah pabean Indonesia merupakan salah satu bentuk modus operandi pencucian uang atau pendanaan terorisme.
“Sehingga aktivitas yang menggunakan uang tunai baik pembawa maupun pembayaran kerap kali digunakan pelaku kejahatan dengan tujuan untuk menghindari deteksi dan monitor baik PPATK maupun aparat penegak hukum untuk melakukan identifikasi dan penelusuran aset tindak pidana,” tutupnya.