A. Sejarah Kemunculan ISIS
ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) telah menjelma menjadi sebuah ancaman baru keamanan dunia global, kemunculannya merupakan bagian darin efek domino krisis politik di Timur Tengah atau dikenal dengan istilah Arab Spring. Kondisi sosial dan politik di Timur Tengah memberi kontribusi tidak langsung bagi muncul dan berkembangnya ISIS.
Semakin lemah atau bahkan hilangnya nilai berbangsa dan bernegara (nation-state) masyarakat di Timur Tengah menyebabkan beberapa negara di kawasan itu terperosok sebagai negara yang gagal (failed state). Pemerintah gagal memberikan layanan umum dasar pada warganya, khususnya keamanan dan kekuatan kedaulatan seluruh wilayah.
Selain itu, agama yang mulanya berfungsi sebagai perekat sosial telah mulai pudar. Masyarakat mulai disibukkan dengan munculnya sektarianisme yang lebih kuat. Khusus untuk wilayah Suriah dan Irak, masyarakat setempat telah kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi dan memiliki afiliasi diri sebagai bangsa Irak atau Suriah, mereka lebih memilih pada sudut sekterianisme masing-masing.
Hilangnya nasionalisme kebangsaan di beberapa negara yang mengalami krisis politik dalam negeri seperti Irak dan Suriah tidak bisa dipandang sebagai kejadian yang lepas dari konteks yang kosong. Puluhan tahun pelanggaran HAM, intoleransi, hate speech terhadap lawan politik, dan kekejaman rezim menjadi landasan munculnya krisis politik di wilayah tersebut. Kekejaman dan kebrutalan ISIS dalam konteks ini juga tidak bisa dilepas dari perlakuan serupa rezim pemerintah seperti kepemimpinan Saddam Husein, Gaddafi, Assad dan lainnya dalam memperlakukan warga negaranya. Hal ini masih diperparah pula dengan rendahnya keadilan sosial dan maraknya crony capitalism serta korupsi yang marajela di berbagai pemerintahan menjadi bibit-bibit lahirnya gejolak politik di Timur Tengah.
Data yang dihimpun oleh tim PMD menunjukkan bahwa ISIS dapat berkembang di Suriah dikarenakan beberapa hal; Pertama, dukungan dana dari negara-negara Teluk seperti Qatar dan Saudi. Kedua, situasai kebijakan dalam negeri Suriah yang mengalienasi kelompok masyarakat Sunni yang dilakukan oleh pemerintahan Bashar al-Assad. Ketiga, konteks regional di Timur Tengah yang ditunjukkan oleh kegagalan proses demokratisasi dan gerakan masyarakat sipil di timur tengah. Keempat, sikap permisif Pemerintah Turki yang membiarkan bahkan memfasilitasi lalu lintas militan (foreign fighters) melintasi perbatasan.
Hubungan antara ISIS dengan kekuatan politik/militer di Timur Tengah sebenarnya mengalami pasang surut. Di Suriah, misalnya, kelompok ISIS mendapat dukungan namun di saat yang lain dianggap musuh yang berbahaya. Bagi pemerintah Suriah dan Iran pada awalnya ISIS dianggap sebagai teman karena mempunyai kesamaan kepentingan berhadapan dengan AS. Namun, di sisi lain ISIS dianggap musuh karena pandangan sekterianisme yang berbeda.
Tidak hanya bagi rezim pemerintah, kelompok oposisi di Suriah atau dikenal dengan Free Syrian Army (FSA) pada awalnya menganggap ISIS sebagai gerakan radikal atau Islam garis keras yang tidak sesuai dan sejalan dengan kebiasaan Islam moderat di tengah masyarakat Suriah. Namun, dalam perkembangannya ISIS juga dianggap sebagai teman karena memiliki kesamaan kepentingan untuk memerangi rezim Bashar Al-Assad.
FSA merasa butuh pasukan ISIS karena dari sisi aspek sumber kekuatan perang, pasukan ISIS memiliki keterampilan dan pengalaman yang lebih baik daripada pasukan FSA yang sebagian besar berisis masyarakat pedesaan Sunni di Suriah. Walaupun semula pasukan asing (foreign fighter) tidak disukai oleh FSA karena pandangan keagamaan ekstrimnya, namun terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gerakan oposisi pemerintah mengubah pandangannya untuk beraliansi dengan ISIS.
Tragedi politik di Suriah pada mulanya menampatkan konflik sekteranisme sebagai isu pinggiran. Namun dalam perkembangannya, isu sektarianisme justru menjadi isu sentral yang memberikan peluang bagi jaringan Al Qaeda, termasuk ISIS dan Al-Nusra untuk terlibat lebih besar dalam konflik tersebut. Gerakan Al Qaeda, baik melalui ‘tangan’ ISIS maupun Al-Nusra tidak bisa berkembang apabila kirsuh dan konflik politik tersebut dapat diantisipasi dengan baik.
B. ISIS: Dari AQI hingga IS
Secara organisasi, ISIS pertama kali didirikan oleh Abu Musab al-Zarqawi . Ia merupakan pemimpin kelompok militan Al Qaeda di Irak yang masuk daftar orang yang sangat dicari di Yordania dan Irak karena terlibat dalam serangkaian serangan, termasuk pembunuhan tentara dan polisi serta penduduk sipil.
Awal pertemuan Zarqawi dengan Al Qaeda terjadi pada tahun 2000 ketika ia bertemu Osama di Afganistan untuk meminta bantuan bagi jaringannya yang bernama al-Tawhid wal-Jihad. Tujuan dari jaringan tersebut adalah untuk menggulingkan pemerintah Yordania. Dalam perjalanannya setelah keluar dari Afganistan, Zarqawi berpindah-pindah lokasi mulai dari Iran hingga Irak pada tahun 2002. Di persinggahan yang terakhir ini Zarqawi mulai melakukan pembinaan dan fasilitasi gerakan militant di Irak.
Sebelum tahun 2004, Zarqawi belum menampakkan keterkaitan kesetian jaringan dengan Al Qaeda. Walaupun membutuhkan negosisasi selama 8 bulan, Zarqawi akhirnya mengucap janji kesetian dengan Al Qaeda dengan mendirikan jaringan yang dinamainya Tanzim Qaidat al-Jihad fi Bilad al-Rafidyan atau umumnya disebut dengan Al Qaeda in Iraq (AQI).
Jaringan ini telah secara eksplisit menampakkan suatu keterkaitan gerakan Zarqawi dengan Al Qaeda. Penerimaan Al Qaeda terhadap permintaan Zarqawi didorong oleh kesamaan target yakni menguasai Irak dengan target musuh AS . Sementara dengan berafiliasi dengan Al Qaeda keuntungan langsung yang dimiliki Zarqawi adalah persoalan bantuan dana, rekruitmen, logistik, dan fasilitas jaringan. Dengan bekal sebagai cabang Al Qaeda di Irak, AQI semakin mempunyai kekuasaan mengontrol sumber kekuatan dari pejuang asing.
Setelah invasi AS yang menghasilkan krisis politik di Iraq pasca lengsernya Saddam Hussein, pada tahun 2004 AQI menjadi salah satu kekuatan militer yang diperhitungkan dalam melancarkan pemberontakan anti Amerika dan menebar perang antar sekte di Irak. Tidak hanya menebar kekerasan di medan perang, AQI juga kerap menebar kekejaman terhadap masyarakat sipil. Dalam melasakanakan aksinya, AQI telah melakukan tindakan yang di luar batas.
Bahkan Al Qaeda sendiri merasa dirusak reputasinya oleh berbagai tindakan kejam AQI yang mereka anggap menyalahi tujuan jihad yang sebenarnya. Dalam melancarkan aksinya AQI tidak segan menyembelih dan melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil, baik Sunni maupun Syiah. Mereka pun tidak keberatan untuk membom masjid-masjid Syiah lalu mengupload kekejaman penyembelihan mereka di media online untuk menyebar teroro ke masyarakat.
Aksi-aksi brutal tersebut tidak hanya menimbulkan respon dari kantong-kantong sunni di Irak yang pada akhirnya membentuk gerakan milisi Sahwa (kebangkitan) yang didukung oleh AS pada tahun 2007, aksi kejam tersebut telah mengusik para pimpinan Al Qaeda Central (AQC) di Pakistan. Sebagai cabang dari Al Qaeda, AQI dipandang telah menyimpang dari strategi dan tujuan jihad yang dipagang oleh Al Qaeda. Atas dasar tersebut Zarqawi mendapatkan peringatan melalui surat yang dikirim oleh Ayman al-Zawahiri (Kepala Deputi AQC, sekarang merupakan pucuk pimpinan setelah matinya bin Laden), dan Syekh Atiyah Abd Rahman al-Libi (Senior AQC yang menjabat pimpinan ideolog dan operasi yang meninggal tahun 2011 akibat serangan drone). Keduanya menasehati Zarqawi untuk meredakan kekerasan dan melandasi operasinya dengan landasan syari’a. Akibat serangan yang membabi buta tersebut AQI pun telah banyak mendapatkan rasa tidak simpati dari mayoritas masyarakat dan juga kalangan oposisi setempat .
Zarqawi tidak menggubris peringatan itu, pada tahun 2006 ia membentuk Mujahidin Shura Council atau Majilis Shura Mujahidin (MSM) yang selanjutnya menjadi Islamic State of Iraq (ISI). Namun sayang, di tahun yang sama pula Zarqawi meninggal dunia, tongkat kepemimpinan dipegang oleh Abu Umar al-Baghdadi. Di bawah kepemimpinan al-Baghdadi ISI semakin menampakkan gerakan ekstrim dan radikalnya.
Baghdadi sendiri bukan orang baru dalam dunia gerakan militan dan ekstrimis Islam. Sebelum bergabung di MSC, Baghdadi dan beberapa rekannya mendirikan Jamaat Jaysh Ahl al-Sunnah wa-l-Jamaah (JJASJ), sebuah angkatan Bersenjata Kelompok Warga Sunni yang beroperasi dari Samarra, Diyala, dan Baghdad.
Di samping itu tingkat pengetahuan dan keagamaan Baghdadi cukup tinggi dibandingkan dengan semisal Osama basis pendidikannya adalah insinyur. Baghdadi bahkan menerima gelar doktor dari Universitas Islamis Baghdad yang memusatkan kajian pada kebudayaan, sejarah, hukum dan jurisprudensi Islam. Ketika menyatakan bergabung dengan ISI, Baghdadi langsung menjadi pengurus dewan hukum. Karena pengetahuan keagamaannya inilah, Baghdadi disegani dan mendapatkan legitimasi kuat di antara pendukungnya.
Setelah sempat tidak terdengar kabarnya, ISI muncul pada tahun 2012. Salah satu faktor kembalinya ISI adalah gejolak politik di Suriah. Gerakan di Suriah ini dimulai pada tahun 2011, ketika pemimpin ISI Abu Bakar al-Baghdadi mengirimkan operasi untuk membentuk organisasi jihad baru di Suriah yang dikepalai oleh Abu Muhammad al-Jawlani yang kemudian menjadi pimpinan JN pada tahun 2012.
Melihat kesuksesan yang dilakukan oleh JN, maka pada April 2013 Baghdadi lantas memberikan nama gerakan ISI menjadi ISIS, singkatan dari Islamic State of Iraq and Syria. Baghdadi merasa bahwa ISI dan JN merupakan gerakan yang sama, atau dengan kata lain keberhasilan JN juga menjadi keberhasilan ISI. Namun rupanya pihak JN, melalui Jawlani menolak mengganti nama dan bersatu dengan ISI. Mereka lebih memilih setia pada AQC.
Inilah bentrokan kedua yang terjadi antara ISI dengan AQC. Dalam masa ‘panas’ ini terjadi banyak perubahan strategi gerakan. Baghdadi berpindah dari Iraq dengan mendirikan markas di Suriah dan mulai banyak mengumpulkan para pejuang asing. Di sisi lain JN juga masih eksis walaupun ketenarannya sudah meredup akibat gerakan gencar yang dilakukan oleh ISIS.
Di Suriah ISIS telah bergerak cepat dengan memanfaatkan kebencian kelompok oposan untuk berjuang menggulingkan pemerintahan rezim Assad. Pada sekitar akhir Mei, ISIS masuk ke beberapa daerah seperti Aleppo, al-Bab, al-Dana, Jarabulus, Azaz dan kota-kota lain untuk menebar ajaran jihad melawan Assad. Di beberapa kota tersebut ISIS juga telah melakukan strategi untuk menarik simpati masyarakat lokal dengan kompetisi-kompetisi permainan perang, mengajak anak-anak dan pemuda dalam kontes qiraatul Qur’an atau lomba nyayi tentang hujatan terhadap pemerintah.
Beberapa cara-cara tersebut telah banyak menuai simpati dan support dari para pemuda dan anak-anak. Selain kegiatan tersebut, ISIS juga memberikan berbagai bantuan bagi para oposan di Damaskus, antara lain layanan kesehatan di Jarabulus, keperluan makanan di daerah terpencil di Aleppo, dll. Namun tentu semua itu hanyalah strategi rekrutmen saja, karena semua bantuan yang mereka berikan ditandai dengan bendera hitam simbol ISIS yang digunakan untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka juga telah memasang iklan dan kampanye di billboard di beberapa area berisis ajakan berjihad melawan rezim.
Walaupun beberapa kelompok oposisi di suriah juga tidak melakukan protes terhadap keberadaan ISIS hal itu bukan berarti mereka sepakat dengan cara dan tujuan ISIS. Beberapa kelompok oposan memang memilih diam karena persoalan kuantitas dan sebagian lagi ikut ISIS semata karena kesamaan musuh bersama, yakni rezim pemerintahan. Tetapi tujuan akhir dari pembentukan khilafah atau pembentukan teokratik agenda jelas tidak sejalan dengan visi para oposan.
C. Kekuatan ISIS
Setelah takluknya Al Qaeda dalam serangan yang dilakukan oleh AS di beberapa daerah di Timur Tengah, ISIS muncul sebagai kekuatan baru yang tidak kalah dari Al Qaeda. Setidaknya ada dua kekuatan yang menjadikan ISIS patut diperhitungkan dan menjadi ancaman baru bagi tatanan sosial politik di Timur Tengah. Pertama, ISIS memiliki sumber dana yang kuat. Dalam rentang waktu 8 tahun, ISIS telah menjadi organisasi yang mampu mendanai diri sendiri tanpa terikat dengan donor. Bahkan ISIS menurut catatan pemerintah AS, ISIS adalah salah satu kelompok teroris di dunia yang mempunyai sumber pendanaan terbaik.
Kedua, ISIS memiliki pasukan militer yang tangguh. Kekuatan sumber dana yang mereka miliki bahkan mampu memanjakan para tentaranya dengan senjata-senjata canggih. ISIS mendapat tentara itu dari berbagai sumber, mulai masyarakat lokal yang berhasil mereka tipu hingga para tahanan kasus kriminal yang berhasil mereka bebaskan seperti yang mereka lakukan pada tahanan penjara Abu Ghraib di Irak, dimana mereka membebaskan beberapa narapidana yang terlibat dalam perang sahwa. Memang di antara narapidana tersebut kebanyakan adalah penduduk asing. Dalam perkiraan ada sekitar 500 orang yang mereka bebaskan dari penjara untuk direkrut menjadi pasukan .
Ketiga, metode inovatif yang dilakukan ISIS dengan memanfaatkan sosial media dan aplikasi mobile phone untuk merekrut pendukung dan pasukan. Apa yang dilakukan ISIS ini menjadi suatu model baru atau pergeseran paradigma dalam gerakan terorisme global. ISIS telah melampuai apa yang dilakukan oleh Al Qaeda melalui organisasi sentrisme ke gerakan yang melintasi struktur organisasi. Apa yang dilakukan ISIS hari ini melalu propaganda media online tidak hanya menggemparkan dunia, tetapi secara khusus juga telah menelanjangi Al Qaeda yang hanya mengandalkan ketaatan ideologis secara ekslusif. ISIS menerapkan penyebaran ideologi secara besar-besaran melalui pesan online dan propaganda visual untuk meracuni individu dan organisasi tertentu agar terlibat dalam gerakan mereka.
D. Sosok di Balik ISIS
Jika harus menunjuk hidung pihak yang paling bebal dibalik ISIS, tentu Abu Bakar al Baghdadi-lah orangnya. Masyarakat luas mengenalnya sebagai pemimpin tertinggi organisasi terorris ISIS, ia bukan tipe orang yang gemar selfie, sehingga tak banyak foto wajahnya yang tersebar.
Semenjak resmi menjadi pimpinan tertinggi ISIS, ia ‘tiba-tiba’ saja menjadi misterius. Ia melengkapi dirinya dengan kawalan ketat pasukan bersenjata lengkap dengan seabrek peraturan yang melindunginya dari jepretan kamera. Salah seorang warga Raqqa menuturkan tentang sikap anti kamera si Baghdadi, saat muncul, dengan tiba-tiba ia bisa langsung menghilang. Ketika Baghdadi meninggalkan masjid, warga sipil baru diperkenankan untuk meninggalkan masjid 30 menit kemudian. Sekilas ia tampak sedang ingin membangun citra sebagai seorang pemimpin misterius yang diciptakan Tuhan hanya untuk misi-misi serius. Itu sebabnya ia tak sudi orang lain tahu gerak geriknya.
Baghdadi sepertinya lupa, ada adagium yang berbunyi “makin dilarang, makin bikin penasaran”. Semakin ia melarang orang lain tahu siapa dia sebenarnya, semakin orang penasaran untuk mencari tahu. Hasilnya, kini telah banyak orang yang tahu siapa dia. Media-media yang ada di Timur Tengah dan Internasional berlomba-lomba untuk menguak jati diri si gembong teroris ini.
Foto pertama –dan merupakan data pembuka—tentang Baghdadi ditemukan. Foto tersebut diambil ketika Baghdadi menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan di Irak pada tahun 2004. Tapi jangan dibayangkan dia ditahan karena kasus terorisme atau gerakan jihadis lainnya, bukan, ia ditahan hanya karena alasan keamanan tertentu.
Ia masuk dalam kategori tahanan sipil, artinya ia ditangkap atas kasus sederhana. Data ini mematahkan anggapan bahwa laki-laki yang ternyata nama aslinya adalah Ibrahim Awad Al-Badry ini memiliki jejak-jejak pergerakan jihadis sebelum membentuk ISIS. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa pekerjaan si Ibrahim alias Baghdadi ini adalah seorang sekretaris bidang tata usaha. Khusus untuk masalah nama, dia diketahui pernah menggunakan banyak nama lain, diantaranya Abu Awad dan Abu Dua.
Ibrahim Awad Al-Badry diketahui berasal dari kota Samara, terletak di sebelah utara kota Baghdad. Ia lahir di kota itu pada tahun 1971. Ia mengaku sebagai keturunan Fathimah binti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Para tetangganya di Samara mengenal Ibrahim sebagai sosok yang pendiam. Tareeq Hameed, salah seorang tetangganya masih mengingat betul sosok Ibrahim, “Anda akan kesulitan mendengarkan suaranya, dia tidak suka ngobrol,” jelasnya di sebuah laman Newsweek. Ibrahim dikenal sebagai sosok yang shaleh dan cenderung menyendiri.
Laki-laki ini juga masih ingat betul bagaiman Ibrahim di waktu kecil, katanya Ibrahim gemar bersepeda dan mengenakan topi warna putih, “Saya tidak pernah melihatnya mengenakan celana panjang atau kaos seperti umumnya pemuda di Samara,” lanjutnya. Ia juga ingat bahwa Ibrahim gemar bermain bola, menurutnya Ibrahim adalah pemain belakang yang handal, ia sulit dilewati.
Kampung halaman Ibrahim atau Baghdadi merupakan kawasan kelas menengah ke bawah, dihuni oleh mayoritas suku Al-bu Badri atau Al-bu Bas yang dikenal sangat militan. Wilayah ini sempat pula menjadi sasaran bom Amerika pada 2003 sebagai bagian dari upaya Amerika membasmi kantong-kantong militan bersenjata.
Diantara pimpinan kelompok radikal ekstrimis lainnya, seperti Alqaeda, Al Baghdadi dikenal sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dan pemahaman agama yang lebih baik dibanding petinggi Al Qaeda seperti Osama Bin Laden atau Ayman Al Zawaihiri. Sebab itulah Al Baghdadi begitu dielu-elukan di hadapan pengikutnya. Situs ISIS menyebutkan bahwa pimpinanya tersebut belajar mengaji dan ilmu pengetahuan lainnya di sebuah masjid di Samara. Ia juga belajar langsung pada Syeikh Subhi Al Saarai dan Syeikh Adnan Al Ameen.
Beberapa kalangan menilai bahwa pemikiran dan sikap radikal ekstrimis yang ada pada Al Baghdadi disebabkan oleh 2 hal. Pertama, fakta bahwa ia tumbuh dewasa di era kepemimpinan Saddam Hussein yang membuatnya mau tak mau harus terbiasa menyaksikan adegan-adegan kekerasan dan pemberontakan yang terjadi disekitarnya. Ia juga dilaporkan menjalani latihan ala militer sebagaimana umumnya pemuda di masa itu.
Kedua, ketika menjalani masa penahanan di penjara Irak, Al Abaghdadi menempati kamp Bucca dimana para militan saling bertemu. Termasuk militan anggota partai Bath. Seorang editor carneegien-dowment.org, Aron Lund, menyatakan bahwa banyak dari tahanan yang menempati kamp ini di kemudian hari menjadi anggota ISIS.
Hal ini rupanya menimbulkan kejanggalan tersendiri, karena menurut Syeikh Al Maqdisi dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi lokal di Yordania menyebutkan fakta bahwa para pemimpin ISIS saat ini adalah para petinggi Partai Bath di era Saddam Husein. Syeikh Al Maqdisi membeberkan kejanggalan kelompok ISIS, menurutnya para petinggi kelompok ISIS adalah orang-orang yang dulu telah membunuh dan menzhalimi kaum muslimin di bawah payung partai Bath. Tetapi, kini mereka tiba-tiba merubah muka dan mengklaim diri sebagai Khilafah Islamiyah.