Jakarta – Pemerintah China secara mengejutkan merilis film dokumenter menggunakan bahasa Inggris, yang menggambarkan keberutalan serangan teroris di Provinsi Xinjiang. film itu, berisi upaya penduduk setempat berjuang dari aksi terorisme di daerah otonomi Xinjiang, Uighur, China Barat Laut. Film itu juga berisi kesaksian para korban yang belum pernah ditayangkan sebelumnya.
China mengklaim, film ini mengungkap kebenaran tentang kebebasan beragama dan hak asasi manusia yang menjadi advokasi sejumlah Negara Barat.
Film yang berjudul Tianshan: Still Standing -Memories of Fighting Terrorism in Xinjiang, merupakan episode ketiga dalam seri CGTN tentang upaya antiterorisme Xinjiang. Dua episode pertama berhasil menarik perhatian publik, menerima jutaan prespektif serta memicu perdebatan di media sosial di seluruh dunia.
Film dokumenter ini juga memberikan informasi kepada para penonton tentang ancaman keamanan terorisme China.Tidak hanya itu, film ini juga menampilkan kesaksian dari pihak kepolisian dan korban yang menceritakan trauma mereka yang masih belum sembuh terkait beberapa serangan teroris yang saat itu dilakukan, bahkan sampai puluhan tahun kemudian.
Banyak anggota tim SWAT mengorbankan hidup mereka untuk melindungi yang tidak bersalah dalam pertempuran melawan terorisme. Termasuk meninggalkan orang-orang yang mereka cintai berduka atas kehilangan orang yang mereka kasihi.
Film ini juga menunjukkan, bagaimana sosok Xudaberdi Toxti, seorang polisi yang memerangi ETIM di Kabupaten Zepu disiksa dan dibunuh oleh teroris di depan keluarganya, 20 tahun yang lalu.
Wakil direktur jenderal Departemen Keamanan Umum Hotan Murat Sheripjan berbicara tentang pengalamannya selama bertahun-tahun memerangi terorisme. Sheripjan menyebut, perjuangan itu sebagai ‘perjuangan hidup dan mati’.
Bahkan, saat itu, para pemimpin agama dibunuh secara brutal oleh teroris atas nama ‘kebebasan beragama’. Pada 30 Juli 2014, Jume Tayir, pemimpin agama Masjid Id Kah di Kashgar, diretas hingga mati oleh teroris.
Memet June, yang mengambil alih dari ayahnya dan menjadi Imam baru Masjid Id Kah, mengatakan, teroris telah menyalahgunakan ‘kebebasan beragama’ untuk mencapai tujuan mereka yang tercela, memisahkan diri dari China.
“Islam adalah agama yang mempromosikan solidaritas dan perdamaian. Secara khusus menentang merugikan kehidupan yang tidak bersalah. Beginilah cara para penjahat memutarbalikkan ajaran Islam,” katanya.
Tokoh di balik serangan teroris ini adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Berdasarkan pemikiran radikal dan ekstrim di balik ‘Pan-Turkisme’ dan ‘Pan-Islamisme’, ETIM digunakan oleh pasukan separatis untuk mencoba dan menciptakan apa yang disebut negara merdeka yang disebut ‘Turkistan Timur’, upaya memisahkan Xinjiang dari China.
Tahun 2002, Dewan Keamanan PBB menetapkan ETIM sebagai organisasi teroris. Bahkan rekening bank anggota ETIM dibekukan dan aset disita. Berdasar sebuah laporan, ETIM didirikan Helen Mexsum, seorang pria dari Kashgar di Xinjiang, pada tahun 1997.
ETIM mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian serangan di beberapa kota China, termasuk pemboman mobil Lapangan Tiananmen pada 2013 di Beijing, dan serangan teroris di Kunming Stasiun Kereta Api di Provinsi Yunnan pada 2014.
Desember 2003, Departemen Keamanan Publik China dengan tegas melarang ETIM berdiri. Ini adalah pertama kalinya pemerintah China secara resmi mengakui, kelompok teroris beroperasi di dalam negeri.
ETIM adalah bagian dari jaringan terorisme internasional yang tidak hanya menargetkan China. Serangan 30 April di Urumqi pada 2014 sangat mirip dengan pemboman teroris 22 Maret di Brussels pada 2016. Pemboman bunuh diri terkoordinasi itu dilakukan di pusat transportasi, menewaskan lebih dari 30 orang.