Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku lebih mudah mengurus keuangan negara ketimbang isu radikalisme yang diindikasikan mulai masuk ke instansi yang dipimpinnya.
“Kalau keuangan negara saya tahu kita belajar teorinya, kita tahu bagaimana menjumlahkan, mengurangkan, mengalokasikan, mengawasi, itu jelas pakemnya,” kata dia di Ritz-Carlton, Pasific Place, Jakarta Selatan, Minggu (22/12).
Hal itu disampaikannya dalam acara Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Beda dengan keuangan negara, hal yang berkaitan dengan radikalisme ada hubungannya dengan ideologi dan sikap. Tak cukup surat edaran dan instruksi menteri untuk menangkal radikalisme di instansi kementerian.
“Kalau kita bicara idelogi, sikap, dan memunculkan inklusivitas dan toleransi itu nggak bisa cuma pakai surat edaran dan instruksi menteri, maka perlu conversation atau dialog,” ujarnya.
Namun dia menyadari kapasitas sebagai Menteri Keuangan tidak cukup. Oleh karenanya dirinya belajar dari tokoh-tokoh yang membidangi hal tersebut.
“Nah dialog itu saya kan Menteri Keuangan bukan Menteri Ideologi, karenanya saya belajar di Bu Mega (Dewan Pengarah BPIP), Pak Mahfud (Menkopolhukam). Saya belajar dari yang lain juga,” jelasnya.
Masalah radikalisme yang bisa muncul karena intoleransi dan eksklusivitas, menurutnya akan mengganggu sinergi di institusi yang dipimpinnya.
“Bagaimana Kementerian Keuangan bisa bersinergi kalau muncul kotak-kotak tadi dari praktik keagamaan yang sifatnya eksklusif memunculkan sikap intoleran,” tambahnya.