Jakarta – 91 tahun lalu, para pemuda Indonesia telah berikrar dan bersumpah untuk menjadi satu yaitu Indonesia. Berawal dari momentum Sumpah Pemuda itulah, bangsa Indonesia kemudian bangkit dan bersatu melawan penjajah dan meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Kini seiring perjalanan waktu, Bangsa Indonesia justru tengah diguncang berbagai gangguan berupa intoleransi, radikalisme, radikalisme. Karena itu peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019, harus dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali semangat “Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, dan Satu Bangsa”, tidak hanya untuk generasi muda, tetapi untuk seluruh bangsa.
“Saya pikir makna dan isi Sumpah Pemuda perlu direvitalisasi dalam semua perilaku kita, baik generasi muda maupun segenap warga negara di setiap langkah, perilaku, profesi, dan status sosial kita. Makna Sumpah Pemuda itu sangat efektif untuk melawan berbagai gangguan yang ingin memecah belah bangsa kita,” ujar Pakar Komunikasi Politik Dr. Emrus Sihombing di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Selain itu, Emrus juga menyarankan agar Sumpah Pemuda selalu digaungkan di setiap ada rapat atau kegiatan seperti lagu Indonesia Raya. Menurutnya, dengan membaca langsung Sumpah Pemuda, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) akan lebih memaknai dan menghayati maknanya. Dengan demikian, otomatis itu akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan di dalam dada setiap warga negara.
“Dengan diucapkan dan dihayati, pasti isi Sumpah Pemuda itu akan melekat dan meresap dalam diri kita masing-masing. Dari situlah akan terpatri rasa persatuan kita sebangsa dan setanah air,” imbuh founder Emrus Corner ini.
Emrus mengungkapkan, saat ini ada sekelompok kecil masyarakat yang tidak begitu memperhatikan makna mendalam Sumpah Pemuda dari sudut perilaku sosial. Seperti perilaku pengikut radikalisme. Menurutnya dari sudut pandang komunikasi, saat ini ada yang ingin mempertajam perbedaan yang ada dalam tubuh bangsa Indonesia. Mereka menganggap dirinya paling benar, paling suci dari orang lain. Mereka bahkan tak segan menghakimi orang lain yang tidak seiman dengan dia.
“Saya menganggap perilaku radikalisme ini tidak tempatnya di Indonesia. Apalagi negara kita berdiri dengan merujuk pada Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 45, dan konstitusi kita yang lain,” tukas Emrus.
Untuk itu ia menyarankan kepada pemerintah agar sosialisasi kebangsaan terus diberikan kepada masyarakat dari desa sampai tingkat nasional. Seperti di setiap kegiatan atau dialog atau apa saja di desa, juga dilakukan dialog kebangsaan dan itu harus dilakukan terus menerus.
“Pembangunan suatu negara harus dimulai dari masyarakat kecil yaitu desa. Kita harus jemput bola untuk memperkuat kebangsaan dan nasionalisme. Apalagi gangguan intoleransi, radikalisme, dan terorisme sangat nyata di depan kita,” imbuhnya.
Hal itu pula yang mendasari Presiden Joko Widodo beberapa kali menekankan masalah pemberantasan radikalisme ini kepada para menterinya. Itu artinya, radikalisme itu masalah yang sangat serius yang menjadi ancaman keutuhan bangsa. Karena itu, seluruh bangsa Indonesia juga harus extra ordinary (luar biasa) dalam melakukan upaya pemberantasan radikalisme. Seluruh juga masyarakat harus mengambil peranan penting untuk membangun sesuatu yang positif untuk bangsa dan negara. Ia khawatir bila rasa nasionalisme dan penguatan makna Sumpah Pemuda tidak melekat, resikonya terlalu berat buat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jangan kita seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Buat apa pembangunan kalau kemudian terjadi perpecahan,” tutur Dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan ini.
Ia juga tidak sependapat dengan klaim beberapa pihak yang mengatakan radikalisme itu dari satu kelompok kepercayaan tertentu. Menurutnya, radikalisme juga bisa berasal dari kelompok kepercayaan yang lain.
“Mari kita perkuat jiwa kebangsaan dan nasionalisme. Kita harus mengikis habis radikalisme dari Indonesia,” tegasnya.
Tak lupa, karena Sumpah Pemuda itu terkait kiprah pemuda, ia meminta generasi muda harus aktif melawan radikalisme, terutama di internet dan media sosial (medsos). Pasalnya generasi muda menjadi salah satu sasaran utama penyebaran paham-paham negatif tersebut sehingga generasi muda pun harus bisa membentengi diri, kemudian melakukan serangan balik. Dan itu bisa dilakukan bila generasi muda benar-benar memahami makna Sumpah Pemuda dan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.