Selain gemar membaca buku Abu Bakar Ba’asyir, menurut Slamet Raharjo, ayah Syafii, anaknya itu juga pernah dua bulan tidak pulang ke rumah. Perangai anaknya yang pendiam sulit ditebak oleh Slamet. Syafii jarang sekali bincang-bincang dengan bapaknya itu.
Oleh karena itu, dia mengaku sulit memahami kepribadian Syafii termasuk perubahan perilaku. Dia sering kali tidak mau menuruti nasihat orang tua. Bahkan, dia melanjutkan, anaknya itu juga tidak mau membuat kartu tanda penduduk (KTP) meskipun telah berulang kali disuruh.
“Dia selalu menolak kalau saya suruh bikin KTP, saat ramai-ramainya masyarakat membuat KTP elektronik di kecamatan,” kata Slamet, Sabtu (17/8).
Slamet mengaku tidak mengetahui pasti alasan anaknya menolak membuat KTP. “Saya tidak tahu alasannya karena apa, tetapi setiap saya suruh selalu tidak mau,” ujarnya.
Sejak saat itu, Slamet mempunyai firasat aneh terhadap anaknya yang selama ini diam. “Terus terang sejak saat itu saya merasakan ada keanehan dan firasat yang tidak baik,” jelasnya.
Apalagi, katanya, selama ini anaknya kerap pergi tanpa pamit kepadanya. Hingga hari penangkapan Syafii, Slamet mengakui baru mendapat firasat anaknya terlibat sesuatu. “Saya baru merasa, anak saya sepertinya terkait kegiatan teroris, tetapi saya tidak mengetahui secara pasti,” jelasnya.
Dari informasi yang dihimpun, penangkapan Syafii terkait pengeboman yang terjadi di Vihara Budha dan Kedutaan Besar Myanmar.
Terkait masalah Syafii yang dibawa orang tidak dikenal, Slamet mengaku bingung lapor ke mana. Oleh karena itu, dia mengaku pasrah jika Syafii ditangkap Densus karena diduga sebagai teroris.
sumber: merdeka online