Terorisme memang tidak mengenal agama, tetapi ada di semua agama. Agama dalam kaitan dengan tindakan kekerasan seperti terorisme hanya dijadikan katalisator dalam mempercepat dalam tindakan kekerasan. Semua agama tidak pernah mengajarkan kekerasan, tetapi hampir semua agama memiliki sejarah teror.
“kenapa terorisme ada di semua agama karena ada penyimpangan dari oknum dalam memahami keagamaan untuk kekerasan. Artinya, sebenarnya terorisme bukan tantangan Islam sendirian, tetapi semua memiliki tantangan yang sama dalam menghadapi fenomena ini”, ungkap Hamli, Direktur Pencegahan BNPT dalam kegiatan Workshop Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme di Kalangan Dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah kerjasama BNPT dengan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (19/3/2019).
Lebih lanjut Hamli di berbagai belahan dunia terorisme memiliki warna yang beragam dari kelompok radikal berbasis Hindu, Budha, Kristen, Shinto dan agama lainnya. Dalam kenyataannya, hampir semua kelompok kekerasan dalam agama ini mengatasnamakan tindakannya berdasarkan dalil-dalil keagamaannya.
“kebetulan di Indonesia, karena sebagai mayoritas dan memiliki sejarah panjang perjuangan cita-cita Negara berdasarkan agama, banyak kejadian teror ini mengatasnamakan Islam, tetapi bukan berarti terorisme tidak lahir dari oknum agama lain, tetapi ada dan mempunyai potensi yang sama” tutur Hamli.
Hubungan antara tindakan terorisme dengan penyalahgunaan agama ini memang harus terus didalami. Data riset yang dilakukan oleh Insep tahun 2012 dihasilkan dari 110 pelaku terorisme menghasilkan akar masalah terorisme adalah motivasi ideologi keagamaan. Dimensi faktor ideologi keagamaan ini cukup besar, tetapi tepat tidak bisa melupakan akar dan faktor lain yang melahirkan terorisme seperti solidaritas komunal, balas dendam dan situasional.
Dalam situasi seperti ini, menurut Hamli, organisasi keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah menjadi tumpuan harapan. dua organisasi ini sangat strategis menjadi benteng dari pemanfaatan pemahaman keagamaan yang salah untuk kepentingan terorisme.
“karena itulah, pertama-tama yang harus dikedepan adalah menyamakan persepsi dan pemahaman bahwa terorisme ini benar-benar di depan mata kita. Memang masih banyak asumsi tentang terorisme seperti rekayasa dan konspirasi, saya kira ini kita harus samakan dulu dan inilah yang harus terus didiskusikan dan diperdalam” tegasnya.
Keterlibatan Muhammadiyah khususnya kalangan akademisinya untuk memperkuat pemahaman yang dapat menangkal serangan radikal ideologi keagamaan. Sebenarnya persoalan ini secara kasat mata sudah ada. Beberapa kejadian kekerasan atas nama ideologi ini, menurut Hamli, sudah ada di depan mata dari beberapa kasus akhir-akhr ini, sehingga menuntut keterlibatan seluruh pihak, termasuk Muhammadiyah.