Semarang – Jumlah kasus intoleransi di Jawa Tengah selama kurun waktu tahun 2018 terhitung masih tinggi. Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang mencatat, ada 29 kasus intoleransi yang menonjol selama setahun terakhir.
Koordinator advokasi dan pemantauan eLSA Semarang, Ceprudin menyebut, jumlah kasus intoleransi meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Hasil penelitian lembaganya, pelanggaran intoleransi didominasi kasus terorisme, penolakan dan penghentian rumah ibadah serta pembubaran kegiatan keagamaan.
“Mayoritas pelanggaran yang terjadi masih didominasi penolakan terhadap kegiatan berbasis agama,” kata Ceprudin saat launching laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan di aula Gereja IFGS Semarang, Kamis (31/1).
Ia merinci, terdapat tujuh kasus bernuansa agama selama setahun terakhir. Seperti perusakan nisan salib di Magelang, perusakan kantor NU di Blora, penganiayaan ulama di Kendal, pemanggilan jemaat aliran keagamaan di Semarang, penolakan imunisasi di Temanggung, penolakan jenazah teroris di Brebes, dan polemik nyanyi di tempat ibadah di Salatiga.
Khusus kasus intoleransi eLSA mencatat sejumlah kejadian. Mulai dari penolakan pemakaman penganut aliran kepercayaan Sapta Darma di Jepara, perusakan gereja, sekolah dan kantor NU di Magelang, penolakan kegiatan peace training di Temanggung, penolakan kedatangan Abdul Somad di Semarang dan Jepara, konflik MTA dam warga di Kebumen, penolakan sedekah laut di Cilacap, dan penolakan peringatan Asyura di Semarang.
“Berkaitan dengan kasus terorisme, ada 14 kasus yang terjadi di Jawa Tengah, ” katanya.
Ceprudin menegaskan, tindakan hukum terhadap sejumlah kasus terhitung masih minim. Seperti kasus-kasus bernuansa agama yakni perusakan nisan salib di Magelang, perusakan kantor NU di Blora, penganiayaan ulama di Kendal. Di mana pelaku yang ditangkap ternyata diduga sakit jiwa.
“Tiga kasus yang pertama, pelaku ditangkap Kepolisian, tapi mereka diduga sakit jiwa. Nah, apa benar begitu,” katanya.
Sementara sosiolog agama dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, Tedi Kholiludin menambahkan, masih adanya kasus perusakan tempat ibadah dikhawatirkan akan mengikis kadar kebebasan berekpresi di masyarakat. Jika hal itu tak ditemukan solusinya oleh pemerintah, ia khawatir akan mengurangi kadar demokrasi di Jawa Tengah.
“Semestinya warga lebih terbuka dalam menerima perbedaan. Menerima perbedaan perlu dikampanyekan sebagai bentuk toleransi dalam beragama. Pemerintah juga harus memikirkan solusi, seperti memastikan soal penggunaan bangunan untuk beribadah.”