Theory U dalam Bingkai Inovasi untuk Indonesia Lebih Baik
“Theory U – has a holistic approach that can be traced back to Buddhism, Taoism and Sufism. It is important to go beyond the personality and to start looking for the ‘true self’. Theory U enables people throughout organizations to let go off the prevailing approach that is based on the past and to focus more on the future. This enables them to take a critical look at themselves and as a result they will then embrace their own intuitions and those of other people.”
Begitulah sepenggal pendapat Otto Scharmer sesaat sebelum beliau minta berfoto selfie di Grand Ball room Bidakara Dec3th 2018. Sungguh menarik mencermati apa yang disampaikan oleh seorang Expert – Senior lecturer MIT Sloan School of Management – yang theorinya menggelora di seluruh dunia itu tentang menejemen dan Leadership yang populer dalam ilmu manejemen yang disebut Theory U.
Namun, karena bahasan kali ini luas sekali yang tidak saja membahas tentang pertumbuhan ekonomi global yang sempat diantar oleh Menteri Luhut B Panjaitan, tapi narasumber juga membahas tentang perubahan tatanan menejemen global, membahas pertanian, pertambangan, keuangan, serta karena judulnya “Inovasi Untuk Indonesia Lebih baik” – yang dilaksanakan pada Program Penguatan Kapasitas Pemimpin Indonesia. Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung Bidakara beberapa waktu lalu itu, menjadi sungguh sangat menarik.
Supaya tidak menjadi bias, dalam tulisan ini penilis hanya membahas dua linked situasi yang berbeda yakni antara; situasi kerusuhan Prancis, utamanya bagaimana peran kepemimpinan dalam suasana kritis seperti di Perancis dan kepemimpinan dalam penananganan demonstrasi yang terjadi Indonesia saat ini, serta tautannya dengan kemungkinan penyusupan paham radikalisme. Sebagai sebuah bahan banding dan ini hanya oto-kritik atas sebuah theory academia sekedar pembejalaran semata.
Karena kalau dilihat dari 4 tahapan teori yang disampaikan oleh Otto Shcarmer, maka ada beberapa hal yang mengkaitkan situasi keamanan dengan teori U itu tentang hubungan ketersediaan sumberdaya, kapasitas, dukungan lingkungan dan keinginan untuk berubah. Dalam hubungan antar teori dalam ilmu sosial, sebetulnya scharmer sangat flexibel dan telah banyak bercerita tentang model kepemimpinan baik kepemimpinan dalam ekosistem maupun kepemimpinan dalam menghadapi dinamika lingkungan sosial yang berubah sangat cepat.
Idealnya sebagaimana dalam paparan Scharmer bahwa kepemimpinan kekinian adalah kepemimpinan yang didasarkan pada premis dan asumsi, linking dengan simbiosis penting yang menghubungkan manajemen perubahan dalam Leadership. Point penting dalam perubahan- harus dicatat- adalah pemimpin harus harus inklusif, harus kolaboratif, dan harus berkelanjutan untuk memiliki dampak yang optimal dalam lingkungan dan dalam ekosistem serta di beragam arena situasi yang kian global ini.
Untuk masa depan, maka pemahaman yang lebih mendalam dapat dicari dari berbagai penerapan teori Kepemimpinan, khususnya tugas kepemimpinan dengan perubahan yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan tersebut. Tentu semua melalui manajemen perubahan yang sistematis.
Kata kunci Teori U bahwa kepemimpinan menurut Scamner adalah; presensi, pikiran terbuka, hati terbuka, kehendak terbuka, dan pemikiran yang visioner. Ada beberapa tahapan contoh yang bisa dijadikan acuan dalam tatanan pemerintahan, misalnya a) input and authority-visible hand yang melahirkan bentuk sentralisasi adalah pemikiran egosentris yang dulu selalu mengemuka, yang selanjutnya bergeser menjadi b) target output and efficiency centric secara tidak langsung memunculkan persaingan untuk menonjolkan kemampuan pada masing-masing bidang, lahirlah invisible hand untuk kompetisi c) outcome and user centric, setelah kompetisi biasanya akan melahirkan dialog dan pembagian kemampuan dan dan kesadaran kapabilitas yang outputnya akan lahir kelompok bidang stakes holder groups d) co-creative and eco-system centric akan melahirka ABC (Awareness Bases Collective Action)
Demo chaos: Melihat Kerusuhan Perancis
Pada Sabtu tanggal 1 Dember 2018 yang lalu saat Presiden Perancis Emmanuel Macron sedang mengikuti KTT G-20 di Argentina, terjadi tragedi yang mungkin merupakan catatan sejarah terburuk bagi proses dialog demokrasi Prancis sejak beberapa dekade lalu, tepatnya tahun 1968. Betapa tidak, sungguh terlihat dan tergambar dengan jelas di Media elektronik dan video betapa ratusan aktivis berseragam jaket kuning membakar mobil yang melintas. Mereka menghancurkan dan melempari jendela kaca bangunan.
Para pengunjuk rasa bersatu dengan oportunis yang menggunakan kesempatan melakukan pencurian, menjarah took-toko serta melakukan vandalisme dengan mencoret -coret bangunan bersejarah yang artistik, Arc de Triomphe, dengan tulisan grafiti multi-warna dengan berbagai tulisan. Kalau disebut dengan bahasa halus “unjuk rasa” mungkin inilah unjuk rasa terburuk di Perancis. Mereka marah dan mengamuk atas kenaikan pajak dan biaya hidup yang kian tinggi.
Benturan dengan polisi anti huru-hara sudah dipastikan tidak bisa dielakkan. Pentungan, pukulan dan tembakan meriam air dan gas air mata terjadi di beberapa daerah wisata yang paling populer di Paris. Polisi sungguh terpaksa harus menembakkan gas air mata dan meriam air ketika mereka mencoba menanangi dan menyelesaikan kekacauan, utamanya di jalan-jalan utama kota Paris. Pada hari Sabtu itu tercatat ada 110 orang terluka.
Langsung dari dari Argentina, Presiden Perancis Emmanuel Macron yang sedang mengikuti KTT G-20 menegaskan bahwa Perancis akan menindak dengan sangat tegas terhadap mereka yang menyerang polisi, mereka yang melakukan vandalisme dan merusak Arc de Triomphe. Pencurian, penjarahan, vandalisme dan penyerangan membabi buta terhadap Polisi, Macron tegaskan tidak ada kaitanya dengan penyampaian ekspresi damai dalam sebuah demokrasi di Perancis. Berkali-kali Macron ulangi bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan berbagai serangan anarkis terhadap polisi atau penjarahan toko-toko, pencurian dan pembakaran gedung.
Dari Buenos Aires sang Presiden mengatakan bahwa pengerahan ribuan polisi dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Historical building Arc de Triomphe dijaga ketat oleh enam ribuan polisi dari berbagai kompartemen dan berbagai level kapasitas. Pengamanan berlanjut hingga malam hari. Saat menjelang pagi, setelah dihitung cermat setidaknya ada 110 warga dan 20 petugas polisi terluka dan 224 orang provokator dan tersangka telah ditangkap.
Tak urung Menteri Dalam Negeri Perancis, Christophe Castaner, melalui televisi Perancis TF1, ikut angkat bicara dan menegaskan bahwa seorang pengunjuk rasa sudah ditetapkan sebagai tersangka karena telah menyebabkan terancamnya jiwa manusia, apalagi setelah diketahui dari hasil penyelidikan dan investigasi mendalam bahwa dia adalah bagian dari kelompok yang ikut merobohkan pagar besi di kebun Tuileries.
Ada beberapa pengamat Perancis yang mengatakan bahwa pengunjuk rasa bahkan sudah disusupi olek kelompok radikalis sayap kanan dan sayap kiri. Pemimpin sayap kanan Marine Le Pen diberitakan telah mengajak dan menghimbau para pendemo untuk pulang melalui twitter, namun masa beringas tidak mengindahkannya lagi.
Pemerintah mencoba dan berkali-kali mengkalkulasi dan menghitung bahwa hari itu tidak kurang 75.000 pemrotes tersebar di seluruh negara. Sebanyak 5.500 orang di antaranya terfokus di pusat kota Paris. Unjuk rasa banyak melahirkan anarkisme. Awalnya, pada sabtu pagi pengunjuk rasa berlaku sangat tertib. Ada ratusan pengunjuk rasa dengan damai melewati pos pemeriksaan polisi sampai ke Champs-Elysees. Mereka berbaris tertib sambil membawa spanduk besar bertulisan “Macron, jangan anggap kami orang bodoh” dan spanduk besar bertulis senada yang lain. Akses ke Champs-Elysees memang sengaja ditutup untuk mobil. Aparat mengawsi dengan sangat ketat. Polisi memeriksa KTP, ID dan Passport dan identitas lain termasuk melakukan pemeriksaan terhasap isi tas.
Gerakan jaket kuning tersebut bukanlah gerakan tiba-tiba dan dadakan. Mereka telah memulainya sejak 17 November yang lalu. Bahkan kegiatan 17 November itu telah menyebabkan dua orang tewas dan ratusan lainnya terluka dalam sebuah bentrokan besar.
Melihat Ragam Tipologi Demonstrasi
Demo di negara manapun memiliki potensi yang sama dalam hal kemungkinan menjadi situasi chaos. Orang-orang yang berdemonstrasi dihadapkan dengan dua situasi dadakan atau terencana. Ada yang tidak direncanakan sama sekali, tiba tiba bergerak ke satu titik karena keterpanggilan kebutuhan untuk menyampaikan aspirasi yang terpendam, atau ada juga yang diajak atas nama solidaritas. Ada yang diorganisir dengan baik, ada yang sporadis bahkan tanpa alat peraga yang sempurna.
Ada beberapa tipologi aksi yang dapat dicermati :
- Demonstasi dengan well management
Adalah demonstrasi dengan suatu perencanaan meliputi; identifikasi permasalahan, tuntutan untuk disampaikan untuk menjawab permasalahan, tempat demonstrasi, materi orasi, penyampai orasi, waktu demonstrasi, alat peraga demonstasi, sound system, jumlah peserta, total biaya yang diperlukan, mengurus perijinan, sistem pengamanan dan kontrol topik narasumber agar tidak menyimpang. Model ini tidak mudah disusupi kepentingan lain selain tujuan yang ingin mereka cari.
- Demonstrasi sebagai simbol
Adalah model demonstrasi yang sebetulnya hanya ingin menunjukan bahwa “kami ada”, bahwa kami ” masih kuat “, dan bahwa kami “komitmen dengan tujuan “. Biasanya demo dilaksanakan dengan konvoi kendaraan, berhenti dan orasi selanjutnta jalan lagi. Tuntutan biasanya digaungkan dalam orasi di depan kantor-kantor yang menjadi objek yang dituntut oleh pengunjuk rasa.
- Demonstrasi solidaritas dan ikut ikutan
Demonstrasi ini terkadang agak merepotkan dan topik bahasan sering menyimpang. Dalam internal pengunjuk rasa sendiri sering ada friksi kepentingan. Koordinator lapangan tidak jelas. Biasanya panduan narasumber tentang apa yang menjadi tuntutan tidak terstruktur- tuntutan awal, tengah dan akhir tidak pernah sama. Isu-isu sensitif seperti politik dan agama sering dijadikan topik sekunder dan sangat rentan terhadap penggiringan opini, khususnya untuk melawan pemerintah.
- Demo ekspresif
Adalah demonstrasi dalam bentuk lain yang sering merepotkan anggota pengamanan di lapangan, karena pernah ditemukan pelaku demonstrasi wanita separoh baya yang rela menjahit mulutnya. Adapula yang mogok makan dan minum sehingga harus dilarikan ke rumah sakit karena terkena dehedrasi.
- Vandalisme simbolik melalui Peraga Hewan
Pernah sewaktu ketika seekor kerbau ditulisi dengan singkatan nama Pemimpin Negara dengan tulisan ” Si Bu Ya ” tapi huruf “i”, huruf “u” dan “a” dibuat sekecil-kecilnya, sehingga dari jauh terbaca “Singkatan nama Pempinan Bangsa”, beliau yang sangat kita hormati. Juga di depan DPR ratusan tikus kecil ditulis singkatan dan kemudian dilepas.
Mungkinkah Disusupi Terorisme?
Demonstrasi dan terorisme adalah dua hal yang berbeda. Demonstrasi adalah menyampaikan ekspresi atas ketidakadilan, kebijakan yang keliru, kemiskinan dan lain-lain. Demonstrasi diekdpresikan dalam kata-kata orasi terbuka di depan publik agar keluhan dapat didengar. Sementara terorisme adalah aktifitas asemetrik dengan pergerakan diam-diam, klandestein dan bercorak merusak demi merubah sebuah ideologi yang dianggap sesat dan tidak cocok bagi kelompok pelaku.
Sebenarnya terorisme merupakan panggung aksi dengan tujuan simbolik yang ingin dituju. Misalnya dalam kasus aksi bom di tempat keramaian dan di tempat yang memiliki simbol Barat dan negara asing terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh kelompok teror. Ada kesamaan antara demontrasi dan aksi terorisme dalam hal penyampaikan pesan politik tertentu. Bedanya demonstrasi dilakukan dengan terbuka dan membawa identitas kelompok yang bisa dilihat, sementara aksi terorisme dilakukan dengan cara tertutup, merusak dan susah diprediksi kapan dilaksanakan.
Pertanyaan apa mungkin terorisme menyusup atau demonstrasi disusupi? Jawabnya mungkin, apabila ideologi mereka yang jadi tuntutan. Kapan dilaksanakan? Jawabnya tentu tidak dalam suasana demonstrasi. Artinya bisa jadi ada simbiosis antara demonstrasi dengan kepentingan kelompok teror.
Apa Urgensinya bagi Aparat?
Sebagai Aparat harus memiliki kepekaan terhadap dinamika di lapangan. Harus bisa memetakan eskalasi ancaman dikaitkan dengan tuntutan. Pimpinan harus selalu menghitung dan melihat premis dan asumsi-asumsi yang memiliki jaringan simbiosis yang menghubungkan dengan manajemen perubahan. Sehingga setiap persoalan sosial, apalagi soal soal agama, dapat dijadikan pintu bagi tumbuh berkembangnya intoleransi, radikalisme agama yang pro pada kekerasan dan terorisme.
Di sinilah dibutuhkan pemimpin yang bisa membaca situasi dalam kecepatan perubahan yang dinamis. Pemimpin harus peka dalam membaca dinamika bangsa ini. Tentu saja kita tidak ingin melihat duplikasi Perancis terjadi di negeri ini.
Peristiwa di luar negeri kerap menjadi model untuk diterapkan di dalam negeri. Masih segar dalam ingatan kita ketika bom beruntun di Perancis yang dilakukan kelompok teror ternyata diduplikasi dalam bentuk teror beruntun di jalan Thamrin. Ini tentu saja menjadi peringatan bagi kita semua.
Semoga Indonesia senantiasa jaya, aman dan sentosa