AUSTRAC: Organisasi Nirlaba Indonesia Paling Rentan Dieksploitasi Teroris

Bangkok – Menurut badan intelijen keuangan Australia, AUSTRAC, organisasi nirlaba yang beroperasi di Australia dan di seluruh Asia Tenggara rentan terhadap infiltrasi dan eksploitasi teroris. Indonesia dinilai yang paling rentan disusupi.

Dalam laporan pertamanya tentang masalah ini, AUSTRAC – Pusat Laporan & Analisa Transaksi Australia – mengatakan bahwa hubungan antara kelompok teroris dan organisasi nirlaba (NPO) di Australia sudah teridentifikasi.

“Australia telah mengidentifikasi dugaan hubungan antara NPO dan kelompok teroris asing, terutama ISIS [Negara Islam] dan afiliasinya,” kata Ketua AUSTRAC, Paul Jevtovic sebagaimana disitat Reuters, Rabu (7/11).

Dilanjutkan Jevtovic, AUSTRAC mengklasifikasikan risiko terhadap NPO Australia berada di tingkat “menengah”, menempatkannya pada tingkat yang sama dengan Filipina, Malaysia dan Thailand.

Indonesia dinilai sebagai negara dengan ancaman tertinggi di kawasan ini, sementara Selandia Baru memiliki peringkat keseluruhan terendah.

“Individu-individu radikal di Australia yang terkait dengan ekstremisme brutal mungkin terkait secara longgar dengan sejumlah kecil NPO, tetapi tidak mungkin NPO mendanai atau mendukung kegiatan teroris domestik,” kata Jevtovic.

Baca Juga : Pengadilan Mesir Hukum Mati Delapan Militan ISIS

Laporan berjudul “Not for Profit Red Flags Report” dirilis pada Konferensi Penanggulangan Pencemaran Terorisme yang diadakan di Bangkok dan dihadiri oleh unit-unit intelijen keuangan (FIU) dari seluruh kawasan.

AUSTRAC mengatakan meski hubungan NPO dengan kelompok teroris domestik, regional dan internasional bervariasi di berbagai negara regional dan sulit untuk ditentukan, hubungan mereka dengan kelompok ISIS – baik yang terilhami maupun diarahkan – terdeteksi atau dicurigai dalam beberapa kasus.

“NPO adalah korban penyalahgunaan, bukan dibentuk sebagai NPO pura-pura atau palsu untuk tujuan pendanaan terorisme. Dalam beberapa kasus, teroris atau pendukung mereka telah menyusup atau memanipulasi NPO,” jelas Jevtovic.

Ia mengatakan, dua investigasi pendanaan anti-terorisme telah diluncurkan di Australia terkait dengan NPO, sementara 27 laporan transaksi mencurigakan (STR) telah dibuat.

Indonesia menangani hampir 300 investigasi pendanaan terorisme yang menghasilkan 39 tuduhan.

Secara umum, pendanaan terorisme melalui NPO utamanya menggunakan saluran yang mapan dan terpercaya untuk mengumpulkan dan mentransfer dana.

“Ini biasanya melibatkan bank dan pengirim yang sah. Namun, ada tanda-tanda beberapa penggunaan saluran yang kurang terlihat seperti crowdfunding (penggalangan dana daring) dan platform pembayaran daring,” sebut Jevtovic mengutip dari laporan tersebut.