Nama kelompok teroris ISIS masih terus ramai diperbincangkan, apalagi jika isi perbincangan tersebut menyangkut masalah kekerasan dan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras yang mendompleng nama agama.
sebagai sebuah kelompok yang mendaku diri sebagai perwakilan Islam, kehadiran ISIS tentu menarik banyak perhatian. Bukan saja lantaran parade kekejaman dan penghancuran yang mereka pamerkan, namun juga karena keputusan mereka untuk menyelipkan nama Islam sebagai bagian dari identitasnya.
Ada apa dengan nama?
Shakespeare boleh saja berkata “apalah arti sebuah nama?”, namun dramawan termasyhur tersebut tidak hidup di jaman sekarang, dimana nama memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar menunjukkan sebuah objek. Dalam konteks ini, penggunaan nama ISIS –meskipun ini merupakan terjemahan tidak lengkap dalam bahasa Inggris dari nama Ad Daulah Al Islamiyyah Fil ‘Iraq wa Asy Syam— tentu bermakna lebih dari sekedar untuk menunjukkan nama kelompok.
Penyelipan kata ‘Islam’ dalam nama mereka dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari kita; umat muslim yang tersebar di seluruh pojok dunia. Karenanya kita yang sama-sama berada di bawah payung Islam tidak perlu menolak apalagi memerangi mereka yang ‘ternyata’ adalah saudara kita sendiri.
Abu Bakar al-Baghdadi yang muncul sebagai pemimpin utama dari kelompok ini paham betul arti dan kekuatan yang tersembunyi dibalik sebuah nama. Ia beserta para gerombolannya melakukan segala upaya agar masyarakat mengenali nama mereka dan mengira bahwa mereka benar-benar sedang menjalankan perintah Islam, yakni dengan mendirikan negara khilafah.
Hal ini ditunjukkan dengan kampanye besar-besaran yang dilakukan oleh ISIS untuk mempopulerkan merek ‘dagang mereka’ melalui berbagai propaganda yang mereka sebar di media. Beberapa orang yang cukup sensitif terhadap nama sempat uring-uringan jika kelompok penggemar berat darah dan jerit kesakitan itu dinamai Islamic State (negara Islam), semacam ingin bilang, “Islam dari mananya?”. Karenanya sempat muncul desakan untuk mengganti nama Islamic State menjadi Unislamic State bla bla bla, yang berarti “bukan negara Islam”.
Abu Bakar al-Baghdadi menanggapi cukup serius segala hal yang menyangkut nama kelompoknya. Pernah suatu ketika ia marah besar lantaran sebuah media menyingkat nama kelompoknya menjadi “Da’isy”. Sebuah stasiun televisi bernama Al ‘Arabiyah melaporkan bahwa saking marahnya ia dengan nama singkatan itu, ia bahkan memerintahkan untuk menghukum cambuk seorang anak yang menyebut negaranya dengan nama Dai’sy. Baginya, tidak ada singkatan dalam bahasa Arab, karenanya singkatan adalah sebuah penghinaan.
ISIS pun sempat dikabarkan mengganti nama mereka, jika semula mereka hanya menenteng nama Ad Daulah Al Islamiyyah Fil ‘Iraq wa Asy Syam, kini mereka berubah nama menjadi Daulah Khilafah yang berarti bahwa mereka akan mendirikan negara Islam bukan saja di Irak dan Syam, tetapi juga di seluruh dunia.
Media-media sempat pula kebingungan dalam menyebut kelompok ini, mereka awalnya ramai-ramai menyebutnya sebagai ISIS, lalu berganti menjadi ISIL (Islamic state of Iraq and Levant), dan kini mereka cukup menyebutnya sebagai IS (Islamic State).
Sebuah nama memang memiliki makna penting bagi pemiliknya, karena sebuah nama bukan saja dapat menunjukkan identitas si pemilik nama, tetapi juga bisa menjadi alat propaganda untuk menyembunyikan agenda yang sesungguhnya.
Dalam konteks penyelipan nama “Islam” pada nama ISIS eh, IS. Mereka seolah hendak menunjukkan bahwa mereka benar-benar Islam dan sedang menjalankan perintah Islam. Akibatnya, karena mereka Islam, maka kekerasan dan kekejian yang mereka lakukan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan, tetapi sebuah jihad fi sabilillah.
Perdebatan tentang, atau lebih tepatnya rebutan, nama kerap terlalu mudah pecah. Apa-apa yang begitu saja ditempeli nama ‘Islam’ terlalu sering ditanggapi secara berlebihan. Seolah nama tersebut telah benar-benar mewakili segala tetek bengek tentang Islam. karenanya ketika ada kelompok yang mengaku membela Islam padahal dalam sikapnya sangat arogan misalnya, orang akan mudah mengira bahwa mereka benar-benar sedang membela Islam, aduh!
Bagi saya, bukan ‘nama’ yang menunjukkan siapa kita, karena apa yang kita lakukanlah yang menunjukkan siapa kita yang sebenarnya, tidak peduli apapun nama yang kita bawa.