Yogyakarta – Keberhasilan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan proses deradikalisasi pada narapidana tindak pidana terorisme seperti Umar Patek, menjadi titik tolak meningkatkan
kualitas petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Karena itu BNPT merasa perlu menyusun modul identifikasi sebagai bagian dari pembinaan mereka dengan bersinergi dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Menkumham. Adanya modul itu, proses pembinaan yang dilakukan BNPT terhadap Umar Patek bisa dilakukan di tingkat petugas Lapas.
“Kami melakukan dengan pendekatan dan pembinaan dengan pendekatan hati. Umar Patek misalnya, susah mendekati dia karena dia tokoh hebat di lingkungannya. Tapi kita yakin dia seorang muslim yang taat, punya hati dan pikiran dan pasti bisa diajak kerjasama,” kata ketua Bidang Resosialisasi dan Rehabilitasi (Resoshab) BNPT, Werijon di sela-sela Rapat Kerja Teknis (Rakornis) Penyempurnaan Modul Instrumen Identifikasi WBP Tindak Pidana Terorisme 2015 di Yogyakarta, Kamis (18/6/2015). Pendekatan terhadap narapidana tindak pidana terorisme, memang memerlukan kesabaran dan trik khusus.
“Dia cukup lama mempelajari apakah BNPT benar-benar datang untuk membina atau hanya sekadar pura-pura. Akhirnya mau bercerita tentang bagaimana kehidupan dia. Bahkan untuk mendekati dia, kami ikhlas dia memegang kepala dan telinga, bahkan mengajak saya foto selfie yang selama ini tidak pernah dilakukan,” ungkap Werijon. Dari situ akhirnya Umar Patek merasa mendapat teman dan pihak BNPT selalu mendengar cerita-cerita Umar Patek, seraya memberi kesadaran tentang pandangan keliru tentang arti jihad.
“Saya panggil dia brother Umar. Saya sampaikan bahwa brother Umar seharusnya bisa memberikan contoh atau pesan kepada kawan-kawan atau calon orang-orang yang akan berjihad, bahwa jihad yang dijalankan itu tidak tepat. Dan kami bersyukur setelah melalui proses yang cukup pelik, dia bersedia melaksanakan itu dan bahkan pada Hari Kebangkitan Nasional di Lapas Porong, 20 Mei lalu, Umar Patek dengan rela hati mau menjadi petugas pengibar bendera Merah Putih,” tutur Werijon.
“Kita berikan mereka rasa damai kepada mereka dan saya sampaikan kehadiran BNPT itu adalah bentuk perhatian negara. Tidak ada maksud lain. Intinya kami ingin dia menjadi agen perubahan bagi keutuhan NKRI,” tukas Werijon.
Werijon berharap, dengan adanya modul ini, kualitas petugas Lapas dalam hal pembinaan narapidana tindak pidana terorisme itu lebih meningkat. Karena selama ini proses itu dilakukan dengan mengira-ngira dan memperhatikan saja.
Pembuatan modul identifikasi itu dipimpin langsung oleh Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hamdi Muluk MSi. “Ibarat orang sakit, ini semacam general check up. Dengan adanya instrumen identikasi itu kita akan tahu ‘penyakitnya’ itu apa dan bagaimana cara penyembuhannya para narapidana tindak pidana terorisme. Nantinya setelah tahu kondisinya, baru akan kita kelompokan, mana yang inti, mana yang militan, pendukung, dan yang penggembira saja. Jadi penanganan kita berdasarkan data karena untuk membuat program deradikalisasi dasarnya harus data-data itu karena kondisi napi terorisme itu berbeda-beda. Selama ini upaya itu dilakukan hanya
dengan memakai perasaan saja. Jadi ini terobosan yang sangat bagus dari BNPT,” terang Prof Dr Hamdi Muluk MSi.
Prof Hamdi menjabarkan, instrumen identifikasi ini akan mengungkap dari yang paling awal yaitu motif mereka masuk kelompok radikalisme, aspirasi politik mereka, sikap dia terhadap negara, masyarakat, demokrasi, toleransi. Juga sikap mereka tentang umat islam yang diperlakukan tidak adil, dipencilkan, dimarjinalisasi.
“Karena itu yang biasanya mendorong mereka untuk melakukan jihad. Kita ukur bagaimana pemahaman tentang jihad, khususnya jihad khittoh (jihad perang). Apakah jihadnya sepotong-sepotong, bagaimana konsepsi dia tentang hubungan islam dengan negara, keharusan mendirikan negara islam, dan tingkat dia melakukan tindakan kekerasan violence extrimisme. Juga tingkat fundamentalisme dan fanatisme,” kata Prof Hamdi.