Jakarta – Dua mantan anggota ISIS asal Inggris yang dikenal sadis, Alexanda Kotey dan El Shafee Elsheikh kini mengemis-ngemis minta keadilan. Kotey dan Elsheikh dikenal dengan sebutan “The Beatles”. Mereka adalah anak buah algoja ISIS, Jihadi John.
Kotey dan Elsheikh mengakui menyesal dengan tindakan-tindakan sadisnya saat masih berjaya bersama ISIS. Namun itu seharusnya jangan hanya faktor itu yang dijadikan pertimbngan dalam memutuskan hukuman. Mereka bahkan berkeras meminta hak hukum agar dihormati di manapun mereka disidang.
Alexanda Kotey dan El Shafee Elsheikh menyampaikan hal tersebut dalam wawancara dengan CNN dari dalam rumah tahanan di utara Suriah, di mana mereka ditahan oleh pasukan Kurdi yang didukung AS.
Keduanya dikenal sebagai bagian dari kelompok anggota ISIS beraksen Inggris yang dipimpin oleh Mohammed Emwazi, algojo ISIS yang kerap tampil dalam video pemenggalan sejumlah sandera negara Barat.
Video serangkaian eksekusi yang disebarkan secara daring itu mengakibatkan kemarahan dan ketakutan di dunia Barat, mengubah persepsi ancaman teror yang dibuat oleh ISIS.
Kedua orang tersebut hanya sebagian di antara puluhan anggota ISIS asing yang ditahan di kawasan konflik. Mereka terjebak di tengah urusan diplomatik, di mana negara asalnya secara tak langsung atau terang-terangan menolak kepulangan para anggota kelompok teror.
Dengan demikian, mereka juga berada di tengah ketidakpastian hukum. Sementara, pasukan Kurdi mesti menanggung beban menangani para tahanan tersebut.
Di dalam rumah tahanan, kedua orang itu tampak santai dan nyaman sembari menenggak kola dan berdebat selama 90 menit untuk memutuskan apakah akan menjalani wawancara ini atau tidak. Setelahnya, mereka berbicara selama 54 menit, berulang kali menyinggung ketidakpastian hukum tersebut.
Dilaporkan sejumlah media Inggris, mereka sudah tidak lagi memiliki status kewarganegaraan negara asalnya. Hal ini membuat penentuan lokasi sidang semakin sulit.
Kementerian Luar Negeri AS menuding Kotey, lelaki 34 tahun asal Ladbrok Grove, London, kemungkinan besar terlibat dalam eksekusi kelompok ISIS dan terutama penyiksaan yang kejam” terhadap wartawan media Barat dan pekerja bantuan kemanusiaan yang disandera.
Elsheikh disebut mendapatkan reputasinya karena water-boarding (menyiksa dengan membenamkan wajah ke air), celaan, eksekusi, dan penyaliban.
Kedua orang itu bercanda soal negara asalnya atau AS kemungkinan memutuskan menyidang mereka dengan hukum Syariah, atau menghukum mereka dengan “hang, draw and quarter,” hukuman mati kejam khas Inggris yang diberikan untuk para pengkhianat kerajaan di era pertengahan.
“Saya bukan orang yang demokratis, tapi saya jadi subjek hukum demokrasi. Jadi ini berlaku untuk mereka yang mengklaim menegakkan hukum ini,” kata Elsheikh dikutip dari laman cnnindonesia.com.
Ditanya soal fakta-fakta bahwa mantan sandera dan korbannya yang mengaku mengenal wajah dan suara mereka dari wawancara sebelumnya, Elsheikh menolak berkomentar. Dia menyebut itu adalah persoalan hukum.
“Itu hanya tudingan, secara hukum. Anda tahu, jika Inggris menyatakan kami akan berurusan dengan Anda menggunakan hukum barbar, atau dengan hukum dari era pertengahan’, maka hukum saya dengan hang, draw and quarter.”
Ketika ditanya di mana ingin menjalani persidangan, Kotey mengatakan “Tentu saja, pilihan termudah adalah sesuatu yang sudah familier. Pengalaman saya hakim Inggris cukup adil dan bijaksana.”