Pemahaman Pancasila sebagai dasar negara hingga saat ini dipandang masih masih sebatas pelafalan tekstual, dan masih sangat minim dalam pendalaman, khususnya dalam bangku pendidikan formal.
Hal tersebut diungkapkan, Dosen FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Dr.Fauzan Ali Rasyid dalam Sosialisasi Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila bertema “Pancasila Menangkal Radikalisme” yang diselenggarakan Lingkar Studi Pancasila (LSP) Gunung Djati di Kampus UIN Bandung, Jawa Barat, Selasa (26/05/2015) lalu.
Baca juga: Jokowi-JK belum serius teguhkan Pancasila & Trisakti Bung Karno dan Membumikan kemanusiaan dalam kerangka Pancasila
Menurut Fauzan, Pancasila merupakan suatu ideologi yang tidak bersifat kaku, tetapi bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal semacam ini dimaksudkan bahwa Pancasila senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman (peka zaman). Namun demikian, berdasarkan konsep eksperiental, sejauh ini pancasila masih sangat minim dalam pendalaman dan kurang ditanamkan di dalam bangku pendidikan formal di Indonesia.
Kata dia, Soekarno mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara, dengan harapan yang sangat mulia, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara utuh yang mampu menjawab tantangan zaman. Lebih jauh lagi, bagaimana Pancasila bisa mengakar pada ideologi masyarakat yang berbeda suku, budaya, bahasa dan agama serta menjadikan mereka harmonis dalam satu kesatuan.
“Tidak bisa ditampik, dominasi perbedaan yang melekat dalam tubuh negara, senantiasa menimbulkan gesekan hingga konflik berkepanjangan. Fenomena sosial seperti ini, seringkali melahirkan bibit-bibit pemikiran radikal, hingga tindakan-tinggakan radikal.Ada beberapa hal yang bisa memicu tindakan-tindakan radikal, diantaranya Frustasi dan Terpinggirkan atau dipinggirkan,” jelasnya dihadapan sekitar 30 orang dari kalangan aktivis mahasiswa.
Dipaparkan Fauzan, dalam dua alasan di atas, bagaimana peran negara dapat memelihara rakyatnya? Bagaimana peran negara dalam melindungi hak-hak warga sipil yang dinaunginya? Jika pancasila telah benar-benar melekat dalam jiwa, dan hati para tokoh negara, kata dia, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur dan sejahtera dalam hidup maupun kehidupan.
“Melihat kondisi fakta hari ini, masih sangat banyak derah-daerah yang terpinggirkan, atau bahkan sengaja dipinggirkan. Finansial lebih diutamakan sebagai aset, ketimbang rakyat. Kearifan lokal tergerus bahkan sengaja digerus, rakyat digiring menjadi manusia konsumtif,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, tidak bisa ditampik bahwa dalam zaman sekarang pun masih banyak rakyat adat yang mempertahankan tradisi di daerah-daerah terpencil. Secara umum mereka sudah sangat mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, dengan sumber daya alam yang melimpah.
Namun bagaimana nasib mereka saat ini? Tak sedikit rakyat adat yang dipaksa untuk rela terusir karena kebijakan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan-kawasan pemukiman adat.
“Dari hal-hal semacam ini, akan muncul tindakan-tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Seharusnya ini menjadi sebuah pemikiran penting, yang dilanjutkan dengan perubahan sikap individu dalam memaknai dan meresapi Pancasila. Nyatanya, hingga hari ini, masih banyak yang menganggap pancasila sebagai semboyan pelafalan saja. Seharusnya tidak! Dan mari mulai kita resapi,” tegasnya.***
sumber : lensaindonesia.com