Jakarta – Radikalisme dan terorisme diyakini kian mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau ada sikap optimisme bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tak menerima radikalisme, namun harus ada upaya masif untuk membendung radikalisme yang nyata-nyata mengancam NKRI dan Pancasila.
Hal itu disimpulkan dalam diskusi bertema ‘Membendung Paham Radikalisme di Tengah Kehidupan Berbangsa dan Bermasyarakat yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945’ di Jakarta, kemarin. Diskusi ini digelar oleh Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Nasional.
Pada diskusi ini tampil sebagai pembicara pengamat politik dan Direktur Eksekutuf Indobarometer, M Qodari, intelektual muda Nahdatul Ulama (NU) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategi Bangsa, Abdul Ghophur, Ketua Umum GMKI, Sahat Marthin Pilop Sinurat, dan Ketua Umum PP Kammi, Kartika Nur Rokhman. Diskusi juga dihadiri sesepuh YKI yang juga politikus senior PDI Perjuangan Sabam Sirait.
Abdul Ghophur mengatakan, warga NU telah tertutup dari kemungkinan terlibat atau masuk ke dalam gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme. Pasalnya, kiai-kiai sepuh NU selalu mengajarkan fitrah al-magfiyah yang menjadi dasar pemikiran bagi nahdiyin. Yakni tawasut, tawasul, keadilan dan toleransi.
Dia menjelaskan, tawasut adalah moderat atau berada di jalan tengah. Artinya, warga NU tidak ekstrim kanan dan ekstrim kiri. “Kita juga bicara keadailan dan toleransi. Dengan empat dasar pemikiran tersebut maka NU sangat tertutup dan tidak mungkin NU terindikasi gerakan terorisme,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum GMKI Sahat Marthin Pilop Sinurat, mengimbau seluruh pejabat publik dari tingkat pusat hingga daerah bersikap sebagai negarawan. Apabila para pejabat bersikap negarawan. Mereka akan lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kelompok.