Mewaspadai ISIS Jilid II

Kabar tentang mulai hancurnya kelompok teroris kelas internasional bernama Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) telah menggema di hampir seluruh sudut nusantara. Kelompok yang sejak awal kemunculannya selalu mengklaim sebagai pembawa ajaran Islam yang paling benar itu kini harus menghadapi kenyataan yang pahit, yakni bahwa mereka harus mengakui kekalahan. Di medan perang, pasukan ISIS berkali-kali mengalami kekalahan telak. Tidak hanya daerah jajahan yang harus dilepaskan, banyak dari milisi ISIS yang bahkan harus rela nyawa tidak lagi bersambung badan.

Selain berhasil memukul mundur milisi ISIS, rangkaian kekalahan yang terus diderita gerombolan teroris ini juga menguak wajah asli kelompok ISIS; yang ternyata tidak segarang yang dibayangkan. Alih-alih memilih bertarung hingga mati –seperti yang selalu mereka koarkan–, kelompok ISIS  merutuki kekalahan ini dengan beragam sikap tidak pasti; mulai dari kabur meninggalkan Irak dan Suriah, bersembunyi di pemukiman warga, hingga menyamar sebagai perempuan; semua dilakukan untuk menyelamatkan diri. Mereka nyatanya tidak berani mati, berbeda dengan propaganda yang selalu mereka sebarkan selama ini. Bahkan para petinggi ISIS, termasuk pimpinan utamanya, Abu Bakar al Baghdadi, melarikan diri meninggalkan pasukannya berperang sendiri.

Namun, fakta di atas rupanya juga menyulut munculnya pertanyaan penting; jika kelompok ISIS memang benar akan kalah, apakah itu berarti terorisme akan hancur? Pertanyaan ini jelas tidak mudah untuk dijawab. ISIS memang telah menjadi salah satu representasi besar untuk terorisme modern, namun apakah hancurnya ISIS juga berarti hancurnya terorisme? Jawabannya bisa saja tidak. Kelompok ISIS memang telah berada di ambang kehancuran, namun ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan kepentingan agama bisa saja masih tertinggal, untuk kemudian menyebar dan bahkan membesar.

Warisan Terburuk ISIS

Hancurnya kelompok teroris internasional ISIS bisa berakibat pada dua kemungkinan ekstrim. Pertama, kelompok teroris, dan para pemuja ideologi kekerasan, akan berpikir ulang untuk meneruskan kegilaannya sambil mundur teratur dan mengakui kesalahannya. Kemungkinan ini bisa terjadi, bahkan telah ada banyak eks kombatan yang menyadari kesalahannya dan telah dengan sepenuh hati kembali ke jalan yang benar. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang aktif mengajak teman-temannya yang masih radikal untuk meninggalkan pola beragama yang keras itu.

Kemungkinan kedua, dan ini yang sangat dikhawatirkan, kehancurkan kelompok ISIS justru memantik semangat perang kelompok radikal-terorisme di kawasan lain. Para ekstrimis pendukung khilafah bisa saja malah mendeklarasikan pentingnya meneruskan ‘perjuangan’ kelompok ISIS, tidak mesti di Irak dan Suriah –yang dulu sempat diklaim sebagai tempat yang dijanjikan tuhan untuk berkumpulnya semua muslim pilihan—, tetapi di mana saja mereka berada.

Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri, terlebih dengan banyaknya teroris asing (FTF – Foreign Terrorist Fighter) yang telah kembali ke kawasan masing-masing, atau berhasil kabur dari Irak dan Suriah, kemungkinan berdirinya ISIS jilid II sangat terbuka lebar. Kemungkinan yang kedua ini juga sangat mungkin terjadi lantaran empat hal; 1) FTF memiliki tingkat radikalitas yang cukup tinggi, terlebih dengan pertemuan dan pengalamannya tinggal di kawasan konflik. 2) FTF juga memiliki kemampuan di bidang militer yang baik, minimal mereka mengerti cara menggunakan senjata api. 3) para FTF ini juga memiliki pengalaman perang, hal ini sangat membantu mereka untuk membuat perang-perang berikutnya, dan 4) mereka memiliki jaringan internasional yang sangat baik.

Hal ini setidaknya menegaskan satu hal, ISIS telah meninggalkan warisan yang paling buruk, yakni ajaran kebencian dan permusuhan. Kelompok pimpinan Abu Bakar al Baghdadi ini telah kadung meracuni otak sebagian orang agar mengira bahwa berbagai kekerasan dan tindak kebiadaban yang mereka lakukan adalah benar perintah agama. akibatnya, ada banyak orang yang mengira bahwa jihad memang harus dilakukan dengan cara-cara jahat.

Mencegat Lari ISIS

Di antara banyak negara/kawasan yang diklaim memiliki milisi ISIS yang kuat, Eropa dan dataran Asia tampak telah mulai memainkan sinyal kuat. Diawali dengan kabar sumpah milisi ISIS di China yang akan mendirikan ISIS jilid II di sana, disusul dengan berita dipilihnya Eropa sebagai ‘bumi jihad’ berikutnya, hingga mulai berulahnya kelompok FTF di Filipina, semua ini menjadi pertanda bahwa ISIS masih menjadi ancaman nyata.

Ditilik dari sudut pandang kriminologi, utamanya dengan teori asosiasi diferensial yang diperkenalkan pertama kali oleh Sutherland pada 1934, kejahatan memerlukan proses. Pikiran dan aksi jahat, sekalipun menggunakan klaim agama, tidak muncul begitu saja. Salah satu premis yang ditawarkan oleh teori ini adalah bahwa tingkah laku jahat tidak diwarisi, melainkan dipelajari. Proses belajar agama yang salah merupakan biang keladi untuk munculnya ajaran marah ini. Agama yang berisi ajaran-ajaran kebaikan diputarbalikkan agar tampak permisif dan bahkan supportif terhadap berbagai laku kejahatan.

Secara lebih rinci Sutherland menyebut perilaku jahat tidak bisa diturunkan secara genetik, melainkan hasil dari proses belajar nilai dan norma yang menyimpang. Poin ini diperkuat dengan premis berikutnya yang menyatakan bahwa bagian utama dari proses memperlajari perilaku jahat terletak dari hubungan internal kelompok yang akrab dan intim. Dalam konteks kelompok teroris, dua dari total sembilan premis yang diajukan oleh Sutherland di atas telah mampu memberi gambaran yang jelas, yakni bahwa mereka belajar nilai dan norma (agama) secara menyimpang dan memperkuat ajaran jahatnya melalui hubungan internal kelompok yang akrab.

Dua premis di atas bisa pula digunakan untuk melakukan konter terhadap penyebaran paham dan kelompok ISIS, khususnya di tanah air. Untuk mencegat penyebaran ideologi dan kelompok ISIS, dua hal yang perlu dilakukan –selain tentu saja, penegakan hukum—adalah; fokus memberikan ajaran agama yang benar, tidak menyimpang, dan memutus rantai kelompok teroris. Dua hal ini tentu tidak mudah untuk dilakukan, namun membiarkan kelompok teroris menyebar dan membesar justru lebih tidak mudah untuk didiamkan.