Medan – Sastrawan Suyadi San, meyakini karya sastra sangatlah tepat untuk dijadikan sarana penanggulangan terorisme melalui pendekapan preventif. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara terorisme dan sastra.
“Jika teororis datang bagaimana menakuti dan menghancurkan manusia, sastra datang untuk memanusiakan manusia,” ungkap Suyadi saat menjadi narasumber di Kegiatan Pelibatan Komunitas Seni dalam Pencegahan Terorisme di Medan, Sumatera Utara, Kamis (30/3/2017).
Ditambahkan oleh Suyadi, orang yang membaca karya sastra, baik itu puisi, pantun, novel dan lain-lain, dengan pesan persatuan, damai, harmonis, dan kebangsaan akan merasa tergugah dan mengamalkan nilai-nilai itu. “Tidak ada kandungan kekerasa dalam karya sastra, sehingga siapapun yang membacanya akan dengan mudah bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan,” tandasnya.
Suyadi yang terkenal dengan salah satu judul puisinya, yaitu “Debu-debu”, mengungkapkan 5 hal kandungan dalam sastra yang menjadi alasan untuk bisa dijadikan sarana pencegahan terorisme. Pertama, sastra mengandung nilai hedonik, yaitu bisa menjadikan pembacanya merasa senang. Kedua, sastra mengangdung nilai artistik, yaitu bisa dimanifestasikan dalam pekerjaan.
Kandungan ketiga sastra adalah nilai kultural, yaitu bisa menciptakan hubungan mendalam dengan sebuah komunitas masyarakat, peradaban, atau kebudayaan. Sementara kandungan kelima adalah nilai praktis, yaitu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Dan nilai kelima, ini yang sangat kuat, yaitu nilai etis, moral, dan agama. Dalam kandungan ini sastra memiliki petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika dan moral, sehingga siapapun yang mebacanya akan mampu mencegah paparan paham radikal terorisme,” tegas Suyadi.
Pria yang juga menjabat Kepala Balai Bahasa Sumatera Utama itu juga mengatakan, hubungan sastra dan negara dapat pula terlihat dari fungsi atau manfaat yang ada di dalam karya sastra, yaitu sebagai pembentuk wawasan, pembentuk kepribadian bangsa, sarana fatwa dan nasihat, kritik sosial masyarakat, catatan warisan kultural, pengalaman perwakilan, serta manivestasi kompleks tertekan dan keindahan.
“Di Surakarta, Jawa Tengah, ada komunitas sastrawan yang menerbitkan antologi puisi berjudul antiterorisme. Dari acara ini, akan lebih baik jika nantinya ada karya sastra yang lahir, sehingga menjadi alternatif bacaan masyarakat untuk mencegah terorisme,” pungkas Suyadi. [shk]