Jakarta – Anggota Pansus RUU Terorisme dari Fraksi Persatuan Pembangunan DPR RI, Arsul Sani menyebutkan, belum selesainya pembahasan RUU Terorisme karena rumitnya perumusan pelibatan TNI. Menurutnya, jika akan diperbaiki harus merujuk pasal 7 UU TNI.
“DPR masih sulit dalam merumuskan pelibatan TNI dalam RUU tindak pidana terorisme. Jika TNI diberi kewenangan bertindak sebelum peristiwa terjadi, maka akan melakukan operasi intelejen. Sementara TNI bukan penegak hukum. Itulah antara lain yang perlu dirumuskan,” kata Arsul Sani.
Hal itu dikatakan Arsul Sani ketika berbicara pada diskusi ‘Pengintegrasian HAM dalam RUU tentang Terorisme’ bersama pakar hukum pidana dari UII Yogyakarta Muzakir, anggota Tim 13 Komnas HAM Trisno Raharjo, dan Masyhuri dari Forum Peduli Penanggulangan Terorisme (FPPT) di Gedung DPR RI Jakarta.
Dikatakan, Polri pun mengakui jika belum ada pasal yang mengatur perbuatan persiapan terorisme. Misalnya baru membeli bahan peledak, kabel listrik, besi, dan sebagainya apakah termasuk dalam kategori tindakan terorisme? “Apakah kita mau seperti Amerika Serikat yang melakukan pendekatan perang (patriot x), karena upaya pencegahan yang dilakukan AS sangat besar,” jelasnya.
Untuk itu, jika mau melakukan pendekatan hukum pidana tetap harus menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), meski yang namanya UU terorisme itu bersifat darurat (lex specialist) dengan memberi kewenangan upaya paksa untuk penggeledahan, penyitaan, penahanan dan sebagainya.
Begitu juga mengenai peran BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) harus dipertegas. Misalnya, Densus 88 tetap ada pada kepolisian, tapi yang menggerakkan tetap atas instruksi BNPT. Selain itu, perlu tim pengawas terorisme oleh Komisi III DPR RI dengan melibatkan peran serta masyarakat. (AT)