Jakarta – Hoax menjadi fenomena yang meresahkan di masyarakat. Hoax dijadikan ‘kendaraan’ oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan berita bohong yang tidak bertanggungjawab. Ironisnya, hoax ini sulit dibendung seiring dengan kemajuan teknologi informasi berupa media sosial (medsos).
Pengamat medsos dan IT Nukman Luthfie mengungkapkan hoax ini sudah lama ada sehingga masyarakat sepertinya sudah biasa dengan berita-berita hoax. Bahkan itu banyak dijumpai tidak hanya melalui media tapi ruang bebas seperti iklan obat kuat investasi menggandakan uang, dan lain-lain. Sekarang menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, hoax banyak digunakan untuk kepentingan politik.
“Kuncinya adalah literasi (pemahaman) dan kecerdasan masyarakat dalam menyaring berita atau informasi. Selama ini masyarakat kita tidak biasa kritis dan kesannya gampang menelan konten apapun di media dan medsos, termasuk konten yang tidak berdasar,” ujar Nukman di Jakarta, Jumat (27/1/2017).
Nukman menilai literasi masyarakat terhadap informasi baik di media maupun medsos sangat rendah. Hal itu dipengaruhi banyak faktor. Pertama, di medsos orang kadang hanya melihat judulnya saja, tanpa dipahami isi berita, mereka langsung share. Bahkan ada dalam statistik sebuah lembaga hampir 40 persen kontek di medsos tidak pernah dibuka. Fakta inilah yang menjadi salah satu cikal bakal hoax.
“Sebagian konten hoax itu judulnya pasti bombastis, padahal isinya tidak ada apa-apanya. Yang membahayakan itu ketika judul-judul itu tidak benar terus menyebar dan orang yang menerima setuju, terus menyebarkan lagi. Bisa dibayangkan betapa besar dampak hoax tersebut,” terang Nukman.
Karena itu, Nukman menyarankan kepada siapapun yang menggunakan medsos untuk lebih cerdas dan arif untuk membaca lebih dulu isi berita sebelum menyebarkan. Selain itu, juga harus cek ricek tentang sumber berita tersebut.